Weekend Story: Gubernur Dedi Mulyadi Sibuk Ngonten, Tugas atau Pencitraan ?

Sementara, pengkritik menilai kebijakan yang diambil di tempat cenderung parsial dan jangka pendek, berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari, juga seperti yang dialami Jokowi.
Ritonga menyimpulkan bahwa sebagian masyarakat melihat tindakan Dedi Mulyadi sebagai pencitraan dan kebenarannya akan terungkap seiring waktu.
"Kebijakan populis memang kerap diidentikkan dengan pencitraan. Hal ini menguatkan kesan dari kelompok masyarakat ini kerja turun ke bawah merupakan bagian dari strategi KDM untuk pencitraan diri," ucapnya.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menyapaikan analisis pembahasan tentang Dedi Mulyadi di Twitter (X), Instagram, Facebook, Youtube, TikTokdan Media Online per 1 Maret 2025 hingga 30 April 2025.
Isu tentang Dedi Mulyadi diberitakan dalam 15.309 artikel yang menuai 39.847 mentions dan dibicarakan di media sosial sebanyak 21.653 mention. Sentimen isu ini terhadap Dedi Mulyadi, yakni media online menunjukkan 69 persen positif, 6 persen negatif dan 24 persen netral.
Sedangkan di media sosial menunjukkan 50 persen positif, 38 persen negatif dan 12 persen netral.
"Tren pembahasan KDM meningkat tajam di media sosial dan online dalam dua bulan terakhir, terutama sepekan terakhir. Isu-isu kontroversialnya ramai dibahas, dengan sentimen publik terbelah namun cenderung positif, terutama terkait sikap pro-rakyatnya," kata Ismail Fahmi dikutip dari akun media sosial Drone Emprit, Sabtu (3/5/2025).
Menurutnya, gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi memicu polarisasi, yakni diapresiasi karena pro-rakyat dan komunikatif di media sosial, tapi juga dikritik karena pendekatan yang dinilai tidak etis, lemah secara teori dan berpotensi melanggar HAM.
"Isu tentang KDM memicu 61.5K mention dan hampir 4 miliar interaksi di media sosial dan online selama dua bulan terakhir. Pembahasan di media sosial dan pemberitaan memuncak pada 30 April akibat kebijakan vasektomi untuk penerima bansos dan rencana pengiriman siswa bermasalah ke barak militer," katanya.
Editor: Kurnia Illahi