BANDUNG, iNews.id - Hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 berpotensi kuat memicu meningkatnya angka putus sekolah. Kasus putus sekolah itu dipicu beberapa faktor.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, ada faktor pemicu putus sekolah itu. Pertama, orang tua tak sanggup membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).
Pengemudi Ojol di Bandung Ngaku Bisa Gandakan Uang, Tipu Pria Rp52 Juta
"Selama pandemi Covid-19, mulai Juni 2020 sampai Februari 2021, KPAI menerima pengaduan terkait masalah pembayaran SPP, terutama di sekolah-sekolah swasta," kata Retno dalam keterangan tertulis, Rabu (17/2/2021).
Kasus-kasus tersebut, ujar Retno, sebagian besar diselesaikan melalui mediasi dengan melibatkan dinas pendidikan setempat sebagai pengawas dan pembina sekolah-sekolah negeri maupun swasta.
Bio Farma Pinjam Dana Perbankan untuk Membiayai Pengadaan Vaksin Covid-19
"Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena ada kebijakan belajar dari rumah dan masalah tunggakan. Pengaduan meliputi jenjang PAUD sampai SMA atau SMK," ujarnya.
KPAI, tutur Retno, menerima pengaduan terkait SPP dari delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan); Jawa Barat (Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon).
Gegara Tertidur di Gerai ATM, 2 Residivis Curanmor Ditangkap Polisi di Ciamis
Kemudian, Jawa Tengah (Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung); Banten (Kota Tangerang dan Kota Tangsel); Lampung (Bandar Lampung); Sumatera Utara (Kota Medan); Sulawesi Selatan (Kota Makassar); Bali (Kota Denpasar); dan Provinsi Riau (Kota Pekanbaru).
Jadi Saksi Sidang KDRT di PN Bandung, Marshanda Beri Keterangan Mengejutkan
Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta 45,2 persen; Jawa Barat 22,58 persen; Banten 9,67 persen; Jawa Tengah 6,45 persen; Lampung 3,22 persen; Sumatera Utara 3,22 persen, Sulawesi Selatan 3,22 persen; Riau 3,22 persen; dan Bali 3,22 persen.
Sebagian besar kasus diselesaikan melalui mediasi yang dihadiri para pihak (pengadu dan teradu) didampingi oleh dinas pendidikan setempat.
Bunbun Kerap Mengamuk, Pria Gangguan Jiwa di KBB Itu Dipasung di Ruangan Khusus
“Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian,” tutur Retno.
Faktor kedua, kata Retno, potensi meningkatnya angka putus sekolah karena siswa menikah atau bekerja. Selama pandemi covid-19 dan kebijakan penutupan sekolah serta pemberlakuan belajar dari rumah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi salah satu pemicunya.
"Siswa memilih menikah dini atau bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan. Ketika anak menikah atau bekerja, otomatis berhenti sekolah," ucapnya.
Saat KPAI melakukan pengawasan penyiapan buka sekolah di masa pandemi di delapan provinsi di Pulau Jawa ditambah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu, ternyata beberapa kepala sekolah menyampaikan bahwa ada peserta didik putus sekolah.
Menurut Retno, ada beberapa faktor penyebab. Misalnya, siswa tidak memiliki alat daring. Kalaupun punya tidak mampu membeli kuota internet. Sehingga anak-anak tersebut selama berbulan-bulan tidak bisa mengikuti PJJ. Akhirnya ada yang memutuskan bekerja dan menikah.
“Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya beriksar 15-18 tahun”, ujar Retno.
Pihak sekolah mengetahui siswanya menikah atau bekerja dari kunjungan ke rumah orang tua peserta didik, berawal dari tidak munculnya anak-anak tersebut saat PJJ berlangsung dan tidak pernah lagi mengumpulkan tugas.
Saat didatangi wali kelas dan guru bimbingan konseling, sekolah baru mengetahui bahwa siswa yang bersangkutan mau menikah atau sudah menikah, dan atau sudah bekerja.
“Ada kisah inspiratif di Kabupaten Bima dan Lombok Barat, pihak sekolah berhasil membujuk siswa dan orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang tinggal beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Usaha para guru tersebut patut di apresiasi,” kata Retno.
Dari data diperoleh KPAI, jenis pekerjaan para siswa umumnya bekerja di sektor informal, seperti tukang parkir, di pencucian motor, bengkel, percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART), dan ada juga yang membantu usaha orang tua karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan.
“Bahkan, pada salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada empat siswa bekerja,” ungkap Retno.
Editor: Agus Warsudi