Amandemen UUD 1945 Ditengarai Pintu Masuk Presiden 3 Periode, Pakar: Apa Urgensinya?
 
                 
             
                "Kalau seandainya dia masih tidak berubah strukturnya, bisa menjadi melemahkan presidensial. Hal ini bisa melemahkan sisi presidensial atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam undang-undang dasar," ucap Asep.
Terkait pembahasan PPHN, Asep menyarankan apabila Ketua MPR bersikeras ingin memasukan haluan negara sebaiknya tetap menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Menurutnya, jika UU tersebut masih memiliki kekurangan, sebaiknya ubah saja UU tersebut ketimbang harus mengamandemen UUD 1945.
"Ada konsekuensi, ketika dulu ada GBHN itu kan Presiden sebagai mandataris, maka letaknya posisi struktur ketatanegaraannya MPR paling atas lembaga tertinggi. Nah itu sekarang dia membuat PPHN, tapi yang sederajat dengan pemerintah. Walaupun ini sebenarnya multifungsi, tapi orang lihat kan akan dipersoalkan rujukan hukumnya ketika dia membuat PPHN itu yang dilaksanakan oleh presiden. Apa bedanya dengan undang-undang kalau begitu," ujarnya.
"Ini kompleksitas ketatanegaraan, jadi hemat saya MPR harusnya memang menyiapkan saja dulu, jangan sekarang. Konsep-konsepnya, substansinya seperti apa, mau dibawa kemana negara ini kalau GBHN. Nanti misalnya pada saat pemilu berikutnya diserahkan kepada MPR yang akan datang mudah-mudahan suasananya lebih tenang, lebih kondusif. Jangan sekarang," tutur Asep.
Editor: Agus Warsudi
 
                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                                     
                     
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                