Weekend Story: Membongkar Skandal Dokter PPDS, Somnofilia atau Modus Kejahatan?

Fakta mengejutkan terungkap dalam penyidikan kasus pemerkosaan yang melibatkan dokter PPDS anestesi Priguna Anugerah Pratama. Tersangka ternyata memiliki kelainan seksual, yakni senang berfantasi melihat orang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Fakta baru ini diungkap Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Pol Surawan berdasarkan hasil penyidikan. “Fantasinya senang melihat orang yang pingsan,” ujar Kombes Surawan saat dikonfirmasi, Kamis (10/4/2025).
Diketahui, somnofilia, merupakan istilah yang berasal dari gabungan bahasa Latin "somnus" yang berarti tidur dan bahasa Yunani "philia" yang merujuk pada cinta atau ketertarikan.
Secara sederhana, somnofilia merupakan paraphilia di mana seseorang merasakan gairah dan ketertarikan seksual yang kuat terhadap aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya karena sedang tidur atau tidak sadar.
Kondisi ini sering kali diasosiasikan dengan istilah "Sleeping Beauty Syndrome" karena adanya kemiripan narasi tentang membangunkan seseorang dari tidur dengan ciuman, meskipun dalam konteks somnofilia, implikasinya jauh lebih kompleks dan berpotensi problematik.
Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti fokus penyidikan Polda Jawa Barat (Jabar) dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter residen anestesi, Priguna Anugerah Pratama (inisial P).
Alih-alih berkutat pada dugaan kelainan seksual somnofilia yang diungkap polisi, Reza menilai pihak kepolisian seharusnya lebih fokus pada pembuktian tidak adanya persetujuan korban dan penggunaan kekerasan sebagai modus operandi pelaku.
Sebelumnya, polisi mengungkapkan bahwa Priguna diduga memiliki kelainan seksual somnofilia, yakni ketertarikan seksual pada orang yang tidak sadar. Namun, Reza mempertanyakan relevansi fokus tersebut dalam proses hukum.
"Coba tanya ke P pada momen apa dia pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa?" ujar Reza, kepada iNews.id Sabtu (12/4/2025).
Dia menjelaskan bahwa informasi yang beredar menyebutkan Priguna mengelabui korbannya saat sadar, baru kemudian menggunakan bius untuk melancarkan aksinya.
"Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa P sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual, ketika si target berada dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan," kata Reza.
Menurutnya, kondisi tidak sadar korban bukanlah pemicu utama gairah Priguna, melainkan sebuah cara yang diciptakan pelaku dengan kekerasan agar dapat melakukan aksinya tanpa perlawanan. "Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawanan, itu modus biasa dalam perkosaan. Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu," ucapnya.
Reza pun mempertanyakan mengapa polisi justru terfokus pada perdebatan mengenai ketertarikan seksual pelaku. "Polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada tidak adanya persetujuan (consent) dari orang-orang yang P setubuhi danpada penggunaan kekerasan yang P jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya," katanya.
Dia menekankan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius, sehingga pelaku harus dihukum seberat-beratnya.
"Semestinya itulah target penegakan hukum. Polisi, dengan kata lain, sepatutnya memakai cara berpikir retributif," katanya.
Reza juga mengkritisi langkah Polda Jabar yang justru membuka celah bagi tersangka untuk mendapatkan keringanan hukuman melalui narasi kelainan seksual. Dia menilai pendekatan ini lebih bersifat rehabilitatif daripada retributif, seolah tindakan pelaku disebabkan oleh kelainan yang perlu diobati. Padahal, jika kelainan itu benar ada, narasi tersebut seharusnya dibangun oleh pihak pengacara tersangka.
"Jadi, kendati rencana melibatkan disiplin non hukum ke dalam kerja penegakan hukum adalah positif, namun diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini. Cara itu salah kaprah bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika dia divonis bersalah," ucapnya.
Polda Jabar hingga saat ini masih terus melakukan penyidikan terkait kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter residen tersebut. Publik menanti perkembangan selanjutnya dan berharap keadilan dapat ditegakkan bagi para korban.
Editor: Kurnia Illahi