Kenapa Orang Sunda Tidak Bisa Ngomong F? Ternyata Dipengaruhi Sejarah Ratusan Tahun

BANDUNG, iNews.id - Kenapa orang Sunda tidak bisa ngomong f? Pertanyaan ini sering kali mengemuka di saat orang Sunda menggunakan kosa-kata berawalan huruf F yang diungkapkan menjadi huruf p, seperti favorit menjadi paporit, maaf menjadi maap atau positif menjadi positip.
Hal itu menjadi gaya dan ciri khas dalam logat atau akses saat berbicara. Orang lain pun dapat dengan mudah mengidentifikasi orang Sunda melalui logat yang digunakan atas kosa kata berawalan huruf F.
Dinas Pendidikan Jawa Barat dalam akun Instagram resminya menyebutkan ketidakmampuan orang Sunda tidak hanya melafalkan huruf f, tapi juga huruf v. Hal itu dipengaruhi kondisi arkeologi bahasa dan aksara Sunda sejak ratusan tahun yang lalu.
Dalam aksara Sunda yang disebut dengan Kaganga tak dikenal huruf f maupun v yang ada adalah huruf p.
Sebenarnya, saat ini banyak masyarakat Sunda yang sudah terpengaruh dengan aksen modern. Sehingga, aksara di Sunda pun beradaptasi dengan memasukkan huruf f dan v, bersamaan dengan huruf lain yang sebelumnya tidak ada seperti z, x dan q.
Namun, tetap saja masih banyak masyarakat Sunda yang kesulitan melafalkan huruf F dan V dan tetap menggunakan huruf P untuk mengganti kedua huruf tersebut. Ini menjadi ciri khas masyarakat Sunda hingga saat ini.
Sejak Abad XII masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Pada awal masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh keadaan yaitu dengan meluasnya pengaruh Mataram Islam ke dalam wilayah Priangan (kecuali wilayah Cirebon dan Banten) dan kebijakan penguasa saat itu untuk meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuno yang merupakan salah satu identitas budaya Sunda.
Kebijakan pemerintahan kolonial melalui surat resminya tertanggal 3 November 1705 yang mewajibkan penggunaan aksara latin, arab gundul (pegon) dan aksara Jawa modifikasi (cacarakan) sebagai aksara resmi yang digunakan di wilayah Sunda dalam kegiatan surat menyurat.
Keadaan yang berlangsung hingga masa kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuno dalam tradisi tulis masyarakat Sunda
Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti berkebangsaan asing (misalnya KF Holle dan CM Pleyte) dan bumiputra (misalnya Atja dan ES Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuno.
Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.
Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku
Editor: Asep Supiandi