7 Makanan Khas Sunda yang Melegenda, Aman Tanpa Bahan Pengawet
BANDUNG, iNews.id - Makanan khas Sunda cukup melegenda yang tidak hanya milik warga Jawa Barat, melainkan dapat dinikmati oleh semua orang. Tentunya dengan cita rasa yang khas dan unik sesuai dengan lidah siapa pun.
Selain itu banyak makanan khas Sunda yang tercipta sejak zaman dulu dengan tetap mempertahankan keasliannya. Meskipun banyak varian hasil pengembangan dari kuliner aslinya. Kuliner di Tatar Pasundan tidak hanya sebatas pemenuhan untuk perut yang kosong, akan tetapi di dalam setiap penganan selalu ada nilai historis dan filosofis yang melekat dalam cita rasa.

Makanan khas Sunda yang pertama adalah Geco yang merupakan sajian dari campuran tauge yang disiram dengan kuah tauco khas Kota Cianjur. Geco bercita rasa gurih, sedikit manis dan asam, dari hasil campuran bumbu fermentasi tersebut.
Tauco sendiri yakni bumbu hasil fermentasi kacang kedelai yang dicampur dengan berbagai macam rempah. Geco sekilas mirip kupat tahu, memakai tambahan dua bahan dari hasil fermentasi, yakni tauco dan cuka lahang yang merupakan hasil fermentasi dari air nira.
Geco disajikan terdiri dari tauge, tahu goreng, potongan ketupat, mie aci atau glosor, potongan kentang, telur rebus dan tak lupa kuah tauco. Biasanya masyarakat Cianjur menjadikan Geco sebagai santapan siang karena isiannya yang padat dan mengenyangakan.
Salah satu penjual geco yang masih bertahan dan melegenda di Cianjur adalah warung Pak Iding, yang ternyata masih kerabat dari Noedji, pencipta hidangan geco.
Warung Pak Iding terletak di Jalan Siti Jenab Nomor 24, Cianjur, Jawa Barat. Satu porsi Geco dipatok harga mulai dari Rp10 ribu lengkap dengan isiannya.

Mungkin makanan khas Sunda ini sudah tak asing lagi di telinga, khususnya bagi masyarakat Jawa Barat. Ya, penganan berbahan dasar seekor ayam kampung yang sudah dipotong dan dibersihkan. Kemudian diberi bumbu dan dipanggang di atas bara api dengan waktu yang cukup lama.
Mungkin tak banyak yang tahu, Kabupaten Purwakarta menjadi di wilayah dengan makanan khas ini. Pedagang kuliner khas ini begitu banyak di jumpai, misalnya di sepanjang Jalan Raya Plered menuju Waduk Cirata.
Salah satu dari sekian banyak penjual Bakakan Ayam di sekitar jalur tersebut, Ma Elim (75). Dia sudah melakoni pembuatan bakakak sejak 30 tahun silam. Di usianya yang memang sudah tidak muda lagi, dirinya masih semangat menjajakan penganan khas ini kepada para pecinta kuliner di warungnya Kampung Buni Geulis, Desa Cadas Mekar Kecamatan Tegalwaru.
Hingga kini, Ma Elim menjadi salah satu pedagang yang setia menjadi penjual bakakak ayam di lokasi itu. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan rumah makan besar di kawasan wisata itu dengan menjual menu yang sama.

Siapa sangka sate maranggi bisa diminati masyarakat dunia. Tapi bukyinya, makanan khas Sunda ini ikut serta dalam ajang World Street Food Congress (WSFC) 2016 di Manila, Filipina yang berlangsung 20-24 April 2016 lalu.
Saat itu, empat kuliner Indonesia diboyong dalam festival jajanan kaki lima dunia tersebut. Salah satunya adalah sate maranggi. Kuliner yang menjadi ikon Purwakarta tersebut merupakan kali pertama diikutsertakan.
Antusiasme luar biasa ditunjukkan di hari pertama event tersebut sehingga membuat sejumlah stand sate maranggi kehabisan stok. Stand pun ditutup satu jam lebih awal. Satu jam sebelum dibuka antrean sudah mengular di luar pagar area jambore. Pintu masukpun terpaksa dibuka tutup karena penuh sesaknya pengunjung di dalam area jambore.
Lalu seperti apa sate maranggi? Makanan khas Sunda ini berbahan dasar daging sapi dan kambing yang dibuat mirip sate. Bedanya, sebelum potongan daging ditusuk terlebih dahulu direndam dalam bumbu rempah. Setelah itu dibakar menggunakan arang smbeari dibolak-balik agar tidak gosong.
Perpaduan bumbu rempah dengan panas dari bara api menciptakan aroma tersendiri yang mengguggah selera. Sebenarnya tanpa menggunakan bumbu tambahan pun sate maranggi cukup lezat. Tapi biasanya disajikan dengan bumbu kecap kacang atau sambal tomat yang diiris kasar. Banyak kedai atau warung yang menyajikan sate maranggi di Jawa Barat, khususnya di Purwakarta.
Bagi warga Jawa Barat pasti mengenal makanan yang satu ini. Berbentuk bulat pipih berbahan dasar tepung beras dan santan, sangat cocok menemani saat ngopi atau ngeteh di pagi hari atau malam. Ya, itulah kue surabi, salah satu kudapan khas Sunda yang banyak ditemukan di pinggiran perkotaan di Jawa Barat.
Mungkin saat ini, penganan para leluhur Sunda itu banyak dimodifikasi dengan menambah varian melalui toping pada surabi. Namun, sajian original dengan dua varian asli, yakni tambahan oncom dan kinca (gula merah yang dilelehkan) tetap memiliki penggemar tersendiri. Terbukti, warga rela mengantre di kedai-kedai surabi hampir setiap sore dan malam.
Penggemar surabi memang tidak ada batas usia. Makanan tradisional warisan leluhur ini sangat cocok di lidah anak-anak dan dewasa. Kalau soal harga, jangan ditanya! Pastinya murah meriah, hanya Rp2.000 per potong. Paling banter hanya bisa melahap lima kue, karena memang dalam akronim Sunda disebut jibeh atau hiji seubeuh (satu sudah kenyang).
Kalau soal rasa, dua varian original masing-masing toping oncom, terasa gurih-gurih pedas. Sementara surabi kinca, terasa manis dari gula merah cair (peueut) yang disiramkan di atas surabi. Makan di kedai pun terasa sangat merakyat dengan keakraban antara penjual dengan pembeli. Tangan-tangan terampil pembuat kue dalam memanggang surabi di atas bara pun menjadikan hiburan tersendiri bagi penikmat kuliner ini.

Tahu sumedang merupakan makanan khas dari Kabupaten Sumedang. Banyak pengusaha memproduksi Tahu Sumedang. Namun yang paling terkenal dan melegenda adalah tahu bikinan keluarga Ong Boen Keng.
Di rumah makan Boen Keng, yang kini dikelola generasi keempatnya yaitu Suriadi, Tahu Sumedang biasa disantap bersama lontong berukuran kecil serta sambal cocol campuran daru cabe rawit, tauco, dan tomat. Tahu berukuran kecil ini memiliki kulit luar berwarna coklat terang dan terlihat kasar, namun bagian dalamnya berwarna putih dan rasanya gurih serta segar. Berbeda dari tahu sumedang lainnya yang rasanya sedikit asam.
Dari dulu hingga sekarang, proses pembuatannya masih tradisional, menggunakan tenaga manusia, serta tidak menggunakan bahan pengawet. Dimulai dari merendam kacang kedelai selama 4-6 jam, kemudian dicuci, digiling, direbus, dan disaring untuk mengendapkan patinya yang nanti akan menjadi tahu. Tidak lupa diberi bumbu khusus untuk menambah cita rasa di dalam tahu khas yang berperan menjadikan Sumedang sebagai Kota Tahu.
Tahu ini setelah digoreng dengan bumbu yang sama, menghasilkan bentuk yang berbeda dari tahu goreng biasanya.

Kue ini asalnya dari Jepang, meskipun saat ini menjadi salah satu makanan khas Sunda. Mochi terbuat dari beras ketan, ditumbuk sehingga lembut dan lengket, kemudian dibentuk menjadi bulat. Di negara asalnya, kue ini sering dibuat dan dimakan pada saat perayaan tradisional mochitsuki atau perayaan Tahun Baru Jepang. Kue ini dijual dan dapat diperoleh dengan mudah di toko-toko kue. Mochi memiliki rasa yang khas, yaitu lembut saat pertama kali dimakan dan lama kelamaan menjadi lengket.
Di Indonesia, khususnya kue mochi buatan Kota Sukabumi yang biasa ditemui di Jalan Kaswari dan Jalan Ahmad Yani, serta sering dijajakan para pengasong di beberapa titik persimpangan jalan besar di Kota Bogor. Bahan-bahan untuk membuat kue mochi mudah untuk didapatkan. Mochi memerlukan bahan dasar untuk proses pembuatannya, yaitu tepung ketan yang dibentuk bulat dan berisi adonan kacang.

Makanan khas Sunda lainnya, yaitu galendo, makanan dari daerah Kabupaten Ciamis. Meskipun keberadaan galendo berada di sejumlah daerah di priangan timur tetapi makanan khas ini lebih terkenal di Kabupaten Ciamis.
Makanan khas Ciamis yang terbuat dari ampas kelapa yang dimasak ini biasa disajikan untuk makanan ringan atau makanan penutup, Saat ini galendo dapat dijumpai di toko oleh-oleh yang berada di priangan timur dengan banyak variasi rasa, bentuk, serta harga
Makanan khas Kabupaten Ciamis ini memiliki sejumlah kandungan gizi, di antaranya protein dari buah kelapa dan lemak dari minyak kelapa. Pengurangan minyak dari makanan tersebut dapat menjadi pengawet alami sehingga tidak dibutuhkan pengawet tambahan untuk membuat galendo tahan lama, dan galendo tersebut tidak lengket sehingga dapat dimakan dengan makanan lain.
Itulah 7 makanan khas Sunda sebagai warisan leluhur sebagai kekayaan bangsa. Selain itu, makanan khas Sunda ini pun bisa,emjadi referensi bagi Anda.
Editor: Asep Supiandi