Libur yang Ditukar
Oleh: Elly Malihah
Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Kota Bandung dan Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Ternyata tidak hanya judul sinetron yang pernah tayang di salah satu stasiun televisi Puteri Yang Ditukar, namun libur pun bisa ditukar. Covid-19 sebagai global pandemi membuat hadirnya berbagai kebiasaan baru dan kita dituntut harus bisa beradaptasi.
Pandemi Covid-19 memunculkan era new normal, di mana dalam era ini hal yang biasa menjadi tidak biasa dan hal yang tidak biasa menjadi biasa dilakukan.
Selanjutnya, setiap orang berbeda dalam merespons kebiasaan baru ini, seperti: (1) ada yang cepat merespons tanpa persiapan; (2) ada yang merespons dengan persiapan berlebihan; (3) ada yang tidak cepat merespons dan tanpa persiapan apapun, serta (4) ada pula yang merespons dan mempersiapkan diri dengan baik.
Di antara respons tersebut tentu nomor (4) adalah respons yang paling diharapkan. Termasuk hal yang tidak biasa yang hadir dalam era kebiasaan baru ini adalah, libur yang ditukar.
Respons terhadap kebijakan libur yang ditukar pun beragam. Paling tidak ada tiga kategori respons, yaitu : (1) biasa saja yaitu ditukar dan tidak ditukar tidak ada pengaruh apapun; (2) menerima dengan baik karena memahami tujuannya, dan (3) menolaknya dengan berbagai alasan.
Kebijakan Libur Nasional
Pada 2021, pemerintah mengeluarkan kebijakan perubahan libur atau tanggal merah, yaitu tahun baru Islam 1443 Hijriah yang sebelumnya jatuh pada 10 Agustus menjadi 11 Agustus dan hari libur nasional untuk memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang seharusnya 19 Oktober menjadi 20 Oktober 2021 (SKB Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri PANRB).
Alasan utama pemerintah menggeser atau mengubah waktu libur tersebut adalah untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan antisipasi munculnya klaster baru. Sementara dijelaskan oleh Dirjen Binmas Islam, bahwa peringatan tahun baru Islam tetap 1 Muharam dan Maulid Nabi tetap 12 Rabiul Awal, yang membedakan liburnya.
Lantas apa hubungannya libur dan peringatan hari besar keagaamaan? Sebelum pandemi Covid-19, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada hari libur apalagi hari libur keagamaan digeser, namun sebaliknya pernah beberapa kali kebijakan tentang libur ini justru ditambah dengan cuti bersama, artinya liburnya diperpanjang. Jadi kebijakan Menukar Hari Libur ini sebagai exit strategy pencegahan penyebaran Covid-19.
Dua hari libur nasional yang digeser kebetulan jatuh pada hari Selasa, dihawatirkan terjadi libur panjang yaitu hari Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa. Hal ini dikarenakan ada kebiasaan kurang baik di sebagian masyarakat kita, yaitu ada hari kejepit yang sering dipelesetkan menjadi "harpitnas" (hari kejepit nasional) yang oleh mereka sengaja diliburkan baik formal mengajukan cuti ke tempat bekerja maupun sengaja mangkir (bolos).
Dalam libur panjang inilah yang dihawatirkan terjadi penyebaran Covid-19 karena libur bagi sebagian orang identik dengan bepergian dan berwisata.
Namun dalam masa pandemi ini, menurut hemat penuis bukan tanggal merahnya yang harus digeser, tetapi bagaimana dengan power yang dimiliki pemerintah dapat mengatasi pergerakan massa baik hari libur maupun hari kerja agar mencegah penyebaran Covid-19.
Selanjutnya jika memang kebiasaan harpitnas ini sudah terlembagakan secara terus menerus dan seolah dianggap hal wajar, bukan tidak mungkin menjadi kebiasaan yang dianggap benar atau boleh oleh masyarakat.
Dalam kaitan ini, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur agar terjadi ketertiban umum, terutama harus tegas kepada mereka yang bekerja, untuk menaati aturan disiplin pegawai. Apalagi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam berbagai situasi dan kondisi.
Peringatan Hari Besar Keagaamaan
Berkaitan dengan peringatan hari besar keagamaan jauh-jauh hari sebelum Covid melanda dunia, khususnya di sebagian masyarakat Indonesia, ada kebiasaan merayakan secara besar-besaran, ini berkaitan dengan keyakinan akan ajaran agama yang dianut maupun upacara atau ritual keagamaan sebagai bagian dari budaya yang sudah terwariskan.
Dalam masyarakat Islam misalnya, ada Sekatenan yaitu rangkaian acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan dari tanggal 5 sampai 11 Rabiul Awal di Keraton Yogyakarta dan Solo dan diakhiri pada 12 Rabiul Aawal dengan acara Grebeg Mulud, yaitu acara arak-arakan yang membagikan hasil bumi dan makanan kepada masyarakat atau saling bertukar makanan.
Peringatan Maulid ini juga dilakukan dalam acara ritual keagamaan di beberapa wilayah Indonesia dengan nama dan cara yang berbeda, namun tujuannya sama mengenang hari kelahiran rasulullah dan kemudian meneladaninya dan menaati segala perintahnya.
Peringatan hari keagamaan menjadi libur nasional dimaksudkan agar umat beragama diberi kesempaatan untuk menjalankan ajaran agamanya agar lebih leluasa tanpa memikirkan pekerjaan atau kegiatan lainnya.
Dalam kaitannya dengan libur yang ditukar, karena kehawatiran ada pergerakan massa sehingga dapat menjadi sarana penyebaran Covid-19, nampaknya harus benar dipikirkan karena tradisi yang sudah melekat dalam masyarakat tidak mudah dihilangkan begitu saja meskipun dalam situasi darurat.
Harus ditegaskan bahwa bukan peringatannya yang dilarang tapi caranya yang harus mengadaptasi kebiasaan baru. Konsistensi dan komitmen pemerintah untuk mencegah keramaian haruslah diterapkan dalam berbagai kegiatan yang menimbulkan kerumunan, karena jika acara keramaian lain diizinkan sementara acara keagaamaan dibatasi, akan mendapat resistensi karena melukai kebiasaan yang sudah melekat apalagi berkaitan dengan keyakinan yang dianut.
Editor: Agus Warsudi