Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari. (Foto: iNews/II SOLIHIN)

GARUT, iNews.id - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut Diah Kurniasari mengungkapkan fakta baru berdasarkan penuturan santriwati korban pemerkosaan ustaz atau guru Pondok Pesantren (Ponpes) TM Cibiru dan Ponpes MH Antapani, Kota Bandung. Para korban merasa dilindungi oleh pelaku Herry Wirawan walaupun tahu perbuatan sangat biadab.

Sebelum kasus ini terbongkar, kata Ketua P2TP2A Garut, sudah ada lima santriwati yang melahirkan. Saat orang-orang menanyakan tentang bayi-bayi itu, mereka mengakui bahwa bayi-bayi itu adalah anak yatim yang dititipkan orang tuanya di pesantren. Bayi-bayi tersebut diurus oleh para santriwati yang lain secara bergantian.

Saat melahirkan, kata Diah Kurniasari, santriwati korban diantar ke bidan oleh santriwati lain. Ketika ditanya di mana dan siapa suaminya, para santriwati mengatakan, suaminya sedang di luar kota. Jadi tidak mengatakan siapa bapaknya.

"Mereka langsung melahirkan, bayar, sudah, terus langsung pulang. Jadi tidak ada untuk pengurusan akte. Bahkan ada yang pakai nama bapak si pelaku (Herry Wirawan) atau kakaknya (dipakai sebagai ayah dari bayi yang dilahirkan). Padahal bapak dan kakak pelaku tidak tahu kejadian ini," kata Ketua P2TP2A Garut, Senin (13/12/2021).

Selain fakta tersebut, ujar Diah Kurniasari, saat melakukan pendampingan, para santriwati yang menjadi korban pelecehan seksual oleh Herry Wirawan, mereka mengurus diri secara mandiri di rumah atau mes yang disediakan sang guru. Sebab di mes tersebut tidak ada pengurus, selain pelaku Herry Wirawan.

"Ada yang bertugas memasak, membersihkan rumah, dan lain-lain. Sementara itu, untuk kegiatan belajar mengajar dilakukan secara home schooling, ada guru yang dipanggil. Jadi tidak ada tenaga pengajar (di Ponpes TM Cibiru dan MH Antapani)," ujar Diah Kurniasari.

Berdasarkan penuturan para korban, tutur Ketua P2TP2A Garut, mereka tidak dipaksa melayani pelaku Herry Wirawan. Tidak ada iming-iming. Namun dugaan modus pertama, pelaku Herry Wirawan melakukan aksi bejatnya dengan mengaku tidak dilayani oleh istrinya.

Akibat perbuatan bejat pelaku, tujuh santriwati asal Garut hamil dan melahirkan delapan anak. "Selama di sana mereka merasa dilindungi. Perbuatan pelaku itu dianggap diperbolehkan. Dari 11 anak (santriwati korban) yang kami dampingi, tidak semuanya hamil. Hanya tujuh yang hamil dan melahirkan 8 anak," tutur Ketua P2TP2A Garut.

Saat ini, kata Diah Kurniasari, P2TP2A Garut tengah memberikan trauma healing untuk memulihkan psikologi para korban. Seusai persidangan kasus ini, P2TP2A Garut akan memberikan semangat agar para korban bisa melanjutkan sekolah.

Terdakwa Herry Wirawan dalam dakwaan primer didakwa melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. 

Sedangkan dakwaan subsidair, Pasal 81 ayat (2), ayat (3) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Ancaman pidananya (berdasarkan Pasal 81 UU Perlindungan Anak) 15 tahun penjara. Tapi perlu digarisbawahi, di sini ada pemberatan (hukuman) karena dia (terdakwa HW) sebagai tenaga pendidik (guru atau ustaz). Ancaman hukumannya jadi 20 tahun," ujar Riyono.

Saat ini, Kejati Jabar tengah mengkaji penerapan hukuman kebiri kepada terdakwa Herry Wirawan. "Kalau masalah itu nanti dikaji dari hasil persidangan dan sebagainya. Karena hukuman ini (kebiri) adalah pemberatan, sehingga nanti kami kaji lebih lanjut," ujar Riyono.


Editor : Agus Warsudi

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network