Kabupaten Cirebon terus memainkan peran penting dalam sejarah Jawa Barat, tidak hanya sebagai pusat perdagangan dan pertanian tetapi juga sebagai saksi bisu penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Pangeran Walangsungsang, yang dikenal dengan gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang atau Hajah Sarifah Mudaim, menorehkan jejak penting dalam pembentukan identitas Cirebon sebagai negara merdeka.
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang yang juga dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana, mendirikan Tajug dan Rumah Besar Jelagrahan, yang kemudian berkembang menjadi Keraton Pakungwati, sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan.
Warisan Pangeran Cakrabuana tidak hanya berupa bangunan fisik, tetapi juga tradisi mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran yang dilanjutkan oleh keturunannya.
Syarif Hidayatullah, putra Pangeran Walangsungsang, memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam di Jawa. Setelah berguru di berbagai pusat keilmuan Islam, dia kembali ke Jawa dan menjadi bagian dari Wali Sanga, lembaga yang berdedikasi untuk menyebarkan Islam di pulau tersebut.
Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, mendirikan padepokan di Gunung Sembung, Carbon, yang menjadi pusat kegiatan keagamaan.
Pada 1479 Masehi, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati dan dinobatkan sebagai Sultan Cirebon I. Dia kemudian mengumumkan kemerdekaan Cirebon dari Pakuan Pajajaran pada 1482 Masehi.
Sikap ini dinilai langkah berani yang menandai awal baru bagi Kesultanan Cirebon sebagai negara merdeka. Tanggal ini, yang bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah atau 2 April 1482 Masehi, kini diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Kisah ini mengingatkan pada pentingnya perjuangan dan diplomasi dalam membentuk sejarah bangsa. Kesultanan Cirebon, dengan dukungan dari kesultanan Demak dan para wali, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan Pajajaran dan menegaskan kedaulatannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Editor : Kurnia Illahi
Artikel Terkait