CIREBON, iNews.id - Cirebon memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari Kerajaan Tarumanagara dan Galuh. Dikenal sebagai salah satu wilayah pertama di Jawa Barat yang mengalami proses Islamisasi.
Proses penting ini dimulai pada era Kesultanan Demak, ketika banyak pasukan Demak menetap di pantai utara Jawa Barat, termasuk Cirebon, Indramayu, Karawang, Jayakarta dan Serang.
Dilansir dari laman Pemkab Cirebon, Jumat (14/6/2024) menyebutkan, Pangeran Galuh, Bratalegawa, memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam di abad ke-14. Setelah memeluk Islam, dia meninggalkan ibu kota Galuh, Kawali lalu bergerak ke Caruban Girang untuk menyebarkan ajaran baru tersebut.
Sejarah Cirebon juga terkait erat dengan Kerajaan Pajajaran di bawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Pangeran Walangsungsang, putra pertama Maharaja yang lahir pada 1423 Masehi, menikah dengan Nyai Endang Geulis.
Mereka kemudian bersama-sama memulai perjalanan spiritual yang membawanya ke berbagai pertapaan. Perjalanan ini berujung pada pertemuan dengan Syekh Datuk Kahfi dari kerajaan Parsi, seorang guru agama Islam yang terkenal.
Pangeran Walangsungsang, yang kemudian diberi nama Somadullah oleh Syekh Nur Jati, memulai pembukaan hutan di Lemahwungkuk, yang sekarang dikenal sebagai Dukuh Tegal Alang-Alang atau Desa Caruban.
Desa ini berkembang menjadi pusat perdagangan, pertanian dan perikanan yang ramai, dihuni oleh berbagai suku bangsa.
Pangeran Walangsungsang menggantikan Danusela sebagai Kuwu Carbon kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana pada 1447 Masehi. Atas bimbingan Syekh Nur Jati, dia dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Makkah, menandai komitmen mereka terhadap Islam.
Kabupaten Cirebon terus memainkan peran penting dalam sejarah Jawa Barat, tidak hanya sebagai pusat perdagangan dan pertanian tetapi juga sebagai saksi bisu penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Pangeran Walangsungsang, yang dikenal dengan gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang atau Hajah Sarifah Mudaim, menorehkan jejak penting dalam pembentukan identitas Cirebon sebagai negara merdeka.
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang yang juga dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana, mendirikan Tajug dan Rumah Besar Jelagrahan, yang kemudian berkembang menjadi Keraton Pakungwati, sekarang dikenal sebagai Keraton Kasepuhan.
Warisan Pangeran Cakrabuana tidak hanya berupa bangunan fisik, tetapi juga tradisi mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran yang dilanjutkan oleh keturunannya.
Syarif Hidayatullah, putra Pangeran Walangsungsang, memainkan peran kunci dalam penyebaran Islam di Jawa. Setelah berguru di berbagai pusat keilmuan Islam, dia kembali ke Jawa dan menjadi bagian dari Wali Sanga, lembaga yang berdedikasi untuk menyebarkan Islam di pulau tersebut.
Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, mendirikan padepokan di Gunung Sembung, Carbon, yang menjadi pusat kegiatan keagamaan.
Pada 1479 Masehi, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati dan dinobatkan sebagai Sultan Cirebon I. Dia kemudian mengumumkan kemerdekaan Cirebon dari Pakuan Pajajaran pada 1482 Masehi.
Sikap ini dinilai langkah berani yang menandai awal baru bagi Kesultanan Cirebon sebagai negara merdeka. Tanggal ini, yang bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah atau 2 April 1482 Masehi, kini diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Kisah ini mengingatkan pada pentingnya perjuangan dan diplomasi dalam membentuk sejarah bangsa. Kesultanan Cirebon, dengan dukungan dari kesultanan Demak dan para wali, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan Pajajaran dan menegaskan kedaulatannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Editor : Kurnia Illahi
Artikel Terkait