GARUT, iNews.id - Pengawasan terhadap bisnis jual beli baju bekas atau thrifting di Kabupaten Garut, masih lemah. Terbatasnya kewenangan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut, membuat praktik thrifting sulit untuk dideteksi.
"(Pengawasan) barang beredar itu kewenangannya ada di provinsi. Kami hanya bisa melaporkannya saja," kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan ESDM Kabupaten Garut Nia Gania Karyana, Minggu (19/3/2023).
Sementara dalam pelaporan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, lanjut dia, pihaknya sangat bergantung dari laporan masyarakat terkait temuan di lapangan. Nia Gania Karyana menjelaskan Disperindag dan ESDM Garut hanya bertugas meneruskan melaporkan temuan ini.
"Laporan ini kemudian akan ditindaklanjuti oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dari provinsi. Kami tidak memiliki itu (PPNS), sehingga sulit untuk melakukan penyelidikan menyeluruh," ujarnya.
Melansir IDXChannel, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data nilai impor baju bekas yang melesat tajam, sekitar 607,6 persen secara tahunan pada Januari hingga September 2022. Tingginya impor baju bekas ini berada di atas nilai impor pakaian rajutan dan nonrajutan, yang nilai totalnya mencapai USD272.146 atau kurang lebih Rp4,18 miliar (kurs Rp15.375 per 1 USD) sepanjang 2022 lalu, dengan volume keseluruhan mencapai 26,22 ton.
Maraknya bisnis thrifting khususnya di kalangan anak muda itu setidaknya telah mengganggu produk fashion yang diproduksi dalam negeri secara lokal.
Editor : Asep Supiandi
Artikel Terkait