Alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang jawa terkait tragedi masa lalu. (Foto: Ilustrasi)

BANDUNG, iNews.id - Kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa? Merupakan pertanyaan yang kerap mengemuka atas pantangan orang Sunda yang sempat dipegang teguh secara turun-temurun dan berabad-abad. 

Tentu tidak ada asap kalau tak ada api, pepatah ini menjadi pintu masuk untuk menguak alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa atau sebaliknya. 

Pantangan itu berawal dari sebuah peristiwa besar yang terjadi di sekitar abad ke 14, yakni Perang Bubat. Perang tak seimbang antara Kerajaan Sunda dengan Majapahit. Perang tersebut dirasa sangat menyakitkan dan membekas bagi orang Sunda selama berabad-abad. Munculah mitos jika orang Sunda tetap menikah dengan orang Jawa, maka tidak akan langgeng.

Lalu, seperti apakah Perang Bubat itu? Berikut Perang Bubat versi Sunda sehingga menjadi alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa yang dirangkum dari berbagai sumber.  

1. Pinangan  

Perang Bubat berawal dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana.

Hayam Wuruk, raja Majapahit memutuskan untuk mengambil putri Citra Rashmi (juga dikenal sebagai Pitaloka) sebagai istrinya. Dia adalah putri Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dari Kerajaan Sunda. Tradisi menggambarkannya sebagai gadis dengan kecantikan luar biasa. 

Patih Madhu, seorang mak comblang dari Majapahit diutus ke kerajaan untuk meminangnya. Senang dengan lamaran dan melihat kesempatan untuk membina aliansi dengan Majapahit, kerajaan terkuat di wilayah itu, Raja Sunda memberikan restunya dan memutuskan untuk menemani putrinya ke Majapahit untuk pernikahan.

Pada tahun 1357 Raja Sunda dan keluarga kerajaan tiba di Majapahit setelah berlayar melintasi Laut Jawa dengan armada 200 kapal besar dan 2000 kapal kecil. Keluarga kerajaan menaiki kapal jung (bahasa Jawa: Jong sasanga wangunan) dengan sembilan lantai dan mendarat di pelabuhan Hujung Galuh, berlayar ke daratan melalui Sungai Brantas dan tiba di pelabuhan Sungai Canggu. Rombongan kerajaan kemudian berkemah di Alun-Alun Bubat di bagian utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit, dan menunggu upacara pernikahan.

2. Pengepungan

Gajah Mada, perdana menteri Majapahit melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke kerajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa alih-alih menjadi Ratu permaisuri dari Majapahit, sang putri harus ditampilkan sebagai tanda penyerahan dan diperlakukan sebagai selir Raja Majapahit belaka. Raja Sunda marah dan terhina oleh permintaan Gajah Mada, dan memutuskan untuk pulang serta membatalkan pernikahan kerajaan. Namun, Majapahit menuntut tangan putri Sunda, dan mengepung perkemahan Sunda.

Akibatnya, terjadi pertempuran kecil di alun-alun Bubat antara tentara Majapahit dan keluarga kerajaan Sunda untuk mempertahankan kehormatan mereka. Itu tidak seimbang dan tidak seimbang karena pesta Sunda sebagian besar terdiri dari keluarga kerajaan, pejabat negara, dan bangsawan, disertai oleh pelayan dan pengawal kerajaan. 

Jumlah rombongan Sunda diperkirakan kurang dari seratus orang. Di sisi lain, penjaga bersenjata yang ditempatkan di Ibu Kota Majapahit di bawah komando Gajah Mada diperkirakan berjumlah beberapa ribu pasukan bersenjata dan terlatih. Rombongan Sunda dikepung di tengah Alun-Alun Bubat. 

Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Sunda berhasil mempertahankan alun-alun dan menyerang balik pengepungan Majapahit beberapa kali. Namun, seiring berjalannya hari, orang Sunda kelelahan dan kewalahan. Meski menghadapi kematian tertentu, orang Sunda menunjukkan keberanian dan kesatria yang luar biasa satu per satu, semuanya jatuh.


Editor : Asep Supiandi

Halaman Selanjutnya
Halaman :
1 2 3
BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network