Sejarah Perlawanan Rakyat Singaparna Jawa Barat Melawan Jepang, Aksi Heroik Sang Kiai

TASIKMALAYA, iNews.id - Sejarah perlawanan rakyat Singaparna Jawa Barat melawan Jepang tak terlepas dari aksi heroik yang terjadi di sebuah pesantren di Sukamanah, Tasikmalaya pada tahun 1944. Perlawanan tersebut dipimpin oleh tokoh kharismatik KH Zaenal Mustofa.
Dirangkum dari berbagai sumber, sejarah perlawanan rakyat Singaparna Jawa Barat ini dilatarbelakangi penolakan ajaran seikerei, yakni penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan membungkuk ke arah timur pada pagi hari, yang tak sesuai ajaran agama Islam. Termasuk juga sikap antipenjajah yang sudah tertanam dalam diri KH Zaenal Mustofa.
Dalam salah satu sumber (id.wikipedia.org) disebutkan, KH Zaenal Mustofa merencanakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula dia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi.
Begitu pula upaya pembebasan tokoh-tokoh yang menjadi tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur dan berdoa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ternyata perkiraan KH Zainal Mustofa bahwa tindakannya akan tercium oleh Jepang tidak meleset. Terbukti Jepang mengirim utusan untuk menangkap kyai ini pada 24 Februari 1944. Mereka segera mengirim Camat Singaparna disertai 11 staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan.
Namun usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup.
Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Ashar datang beberapa truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri.
Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.
Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.
Sehari setelah insiden itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH Zaenal Mustofa.
Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.
Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.
Sejarah perlawanan rakyat Singaparna Jawa Barat ini menjadi catatan sejarah bagiamana heroiknya para pejuang melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mereka berjuang untuk kemerdekaan meski harus meneteskan darah, air mata dan nyawa sekalipun.
Editor: Asep Supiandi