get app
inews
Aa Text
Read Next : Akses Jalan ke Stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung Belum Rampung, Ini Respons Erick Thohir

Komisi IX DPR Nilai Kasus Mutilasi Mahasiswa di Jogja Jadi Contoh Perlunya RUU Ketahanan Keluarga

Kamis, 03 Agustus 2023 - 09:41:00 WIB
Komisi IX DPR Nilai Kasus Mutilasi Mahasiswa di Jogja Jadi Contoh Perlunya RUU Ketahanan Keluarga
Netty Prasetiyani, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS menyatakan, RUU Ketahanan Keluarga sangat penting, perlu, dan mendesak. (FOTO: iNews/MIFTAHUDIN)

CIREBON, iNews.id - Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang diajukan DPR kembali mencuat dan diperbincangkan publik. Masyarakat mulai melirik RUU Ketahanan Keluarga setelah mencuat kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap mahasiswa di Jogja atau Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Seberapa penting dan mendesaknya RUU Ketahanan Keluarga tersebut untuk dibahas dan segera disahkan menjadi undang-undang?  Berikut penjelasan anggota Komisi IX DPRD dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani saat ditemui di Kota Cirebon, Rabu (2/8/2023). 

Netty Prasetiyani yang merupakan istri mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan ini adalah salah satu inisiator RUU Ketahanan Keluarga. Netty mengatakan, atas nama pribadi sangat menyayangkan dan prihatin terhadap kejadian yang marak belakangan ini terutama pembunuhan dan mutilasi seperti yang terjadi di Yogyakarta. 

"Peristiwa itu sangat mencederai rasa kemanusiaan sebagai warga bangsa yang hidup di negara Indonesia dengan berlandaskan falsafah Pancasila. Karena itu, saya secara pribadi juga mewakili suara perempuan, kaum ibu, ingin bahwa persoalan ini bukan dilihat sekadar persoalan hukum atau kasus yang harus dilanjutkan prosesnya, namun kita harus terus melakukan introspeksi, ada nilai dan proses yang selama ini dianggap remeh dan mulai pudar di tengah masyarakat, yaitu, ketahanan keluarga," kata Netty Prasetiyani.

Setiap anak, ujar Netty, lahir besar dan tumbuh dalam keluarga. Setiap anak berkumpul, berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga. Terutama, berinteraksi secara intensif dengan orang tua. Seorang anak lahir dari kandungan ibunya selama 9 bulan. Hari pertama terjadi pembuahan sampai kemudian tumbuh dalam 5 tahun pertama sebagai masa keemasan. 

Tentu momen itu, ujar Netty, menjadi kesempatan berharga bagi para orang tua menanamkan nilai-nilai kebaikan, berdasarkan falsafah Pancasila yang telah menjadi konsensus Bangsa Indonesia. 

Dalam Pancasila ada nilai ketuhanan, kemanusiaan, semangat persatuan, kerakyatan dalam memutuskan sebuah perkara, dan semangat untuk menghadirkan kesamaan dan kesetaraan yang disebut sebagai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Jadi kalau sekarang kita menilik satu kasus, yang terjadi di Jogja, misalnya, terjadi pembunuhan disertai mutilasi, dilakukan oleh orang yang memiliki orientasi seksual sesama jenis terhadap seorang mahasiswa yang melakukan penelitian, tentu saya sebagai perempuan mengutuk keras ya kejadian seperti ini. Perbuatan yang luar biasa melanggar nilai kemanusiaan dan Pancasila," ujar Netty.

Netty menuturkan, ketika bicara tentang kekerasan, yang sangat beragam, mulai dari bondage, dominansi, penguasaan, penindasan, sampai sadism atau sadisme, dan juga mosokis, tentu satu hal yang diperbanyak dan menjadi tumbuh subur dengan kemajuan teknologi yang membuat hari ini dunia borderless atau tanpa batas.

Akibat kemajuan teknologi, dunia tanpa batas geografi yang jelas dan mutlak. Semua bisa saling tertukar, saling menyeberang antara nilai yang dianut oleh negara-negara di belahan barat dalam hitungan detik sudah sampai ke Indonesia.

Karena itu, tutur Netty, Bondage and Discipline, Dominance, Submission, Sadism and Masochism (BDSM) yang selama ini menjadi satu diksi sangat jauh dari telinga, ternyata praktiknya sudah ada di depan mata dan di tengah masyarakat.

"Saya teringat ketika kita bicara tentang keluarga adalah institusi sosial terkecil di masyarakat yang sangat menentukan masa depan bangsa seharusnya kita mulai kembali memperkokoh, memperkuat ketahanan keluarga kita. Karena di keluarga itulah kita ditanamkan nilai kebaikan, termasuk juga nilai agama," tutur Netty.

Beragama di Indonesia, kata Netty, didukung oleh nilai-nilai Pancasila dengan beragama agama yang menjadi pilihan. Nilai agama itu lah yang membuat orang bisa mengatakan tidak terhadap setiap tindakan kekerasan.

"Kita bisa mengatakan tidak kepada setiap tindakan yang merugikan diri dan orang lain. Dengan agama pula lah kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Itu semua diawali dari dalam pendidikan keluarga," ucap dia.

Netty berharap berharap, undang-undang dan regulasi mampu memotret apa yang selama ini menjadi keresahan dan kekhawatiran masyarakat, khususnya orang tua dalam melindungi anak mereka dari seperti yang saya sebutkan sebagai BDSM.

"Jika ada undang-undang atau regulasi ternyata belum mampu meng-cover apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan warga negara dalam menyelenggarakan pola pengasuhan, ya saya secara pribadi sebagai anggota Komisi IX DPR mendorong mana undang-undang yang perlu direvisi atau bahkan mana undang-undang baru yang memuat norma-norma agar semakin melindungi institusi keluarga," ujar Netty.

Saat ini, tutur dia, institusi keluarga di Indonesia banyak yang digerogoti oleh nilai-nilai destruktif seperti itu. Bicara tentang keluarga, satu, Indonesia baru selesai menjalani pandemi. Dalam situasi pandemi, banyak sekali keluarga yang mengalami kerentanan ekonomi, sosial, kematian orang tua, dan perceraian. Hal-hal ini yang membuat imunitas keluarga melemah atau mengalami sebuah masalah.

Indonesia, tutur Netty, punya undang-undang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. Namun ada baiknya Indonesia juga memperkuat undang-undang yang ada agar terus bisa menyelenggarakan pengasuhan yang benar dan tepat buat anak-anak. Karena, jika yang hari ini mereka berusia 0 sampai 5 tahun, atau berusia 6 sampai 12 tahun di bangku SD, suatu saat mereka yang akan menjadi pelanjut estafet pemimpin bangsa di masa akan datang.

"Jadi tidak ada salahnya jika kemudian mulai melihat lagi seperti apa institusi keluarga yang kita harapkan di masa yang akan datang. Kita sering bicara tentang bonus demografi, tapi kita merasa takut bagaimana memperkuat institusi keluarga. Padahal bonus demografi itu dihuni oleh begitu banyak kelompok usia produksi yang akan menanggung beban kelompok usia non-produktif," tutur Netty.

Saat ini, kata Netty, persentase usia produktif di Indonesia hampir 60 persen dihuni oleh generasi Z atau zillenial. Oleh karena itu, negara harus melakukan sesuatu dengan kebijakan, program, dan tentu dukungan anggaran untuk memperkuat ketahanan keluarga. Sebagai mikrosistem, keluarga harus mampu menyadari bahwa sebetulnya dari keluarga lah kemudian orang bisa berkontribusi besar kepada masyarakat. 

"Saya berharap mudah-mudahan berbagai kasus yang menimpa keluarga kita, baik kekerasan, penindasan, termasuk hubungan sejenis yang berujung pada pembunuhan dan mutilasi, menjadi yang terakhir karena kita semua memiliki kesadaran untuk memperkokoh ketahanan keluarga," ucap Netty Prasetiyani. 

Editor: Agus Warsudi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut