Cerita Rakyat Jawa Barat, Asal Usul Objek Wisata Pulomas Indramayu
DAHULU kala, Kabupaten Indramayu masih hutan belantara. Selain dihuni berbagai macam hewan buas, hutan belantara itu juga menjadi kediaman para jin.
Hingga suatu masa, Raden Wiralodra datang dan berniat membuka hutan untuk dijadikan desa atau perdukuhan. Raden Wiralodra merupakan ksatria dari Desa Banyu Urip, sebuah desa di Purworejo, Jawa Tengah saat ini.
Dia datang bersama Ki Tinggil, pembantu setia dan sakti mandraguna, ke lembah Sungai Cimanuk. Karena tidak tahu jalan, Raden Wiralodra dan Ki Tinggil justru tersesat di sebuah hutan. Di sini mereka bertemu dengan Ki Sadum, orang yang mengasingkan diri dari keramaian dunia.
Karena tidak tahu jalan menuju ke lembah sungai Cimanuk, Ki Sidum meminta keduanya untuk tinggal beristirahat satu malam. Ki Sidum juga menawarkan kepada Raden Wiralodra seekor Kijang Kencana yang akan menjadi penunjuk jalan.
Keesokan harinya, Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan dengan mengikuti Kijang Kencana. Sesudah melewati banyak sekali rintangan, Raden Wiralodra tiba di lembah Sungai Cimanuk.
Setelah beristirahat sejenak, Raden Wiralodra dan Ki Tinggi mulai bekerja membabat hutan untuk dijadikan permukiman penduduk. Namun ternyata, di hulu Sungai Cimanuk berdiri kerajaan mistis yang membawahi 12 kerajaan mistis lain yang lebih kecil.
Penguasa kerajaan mistik tersebut berjuluk Budipaksa. Sementara kerajaan mistik lain yang lebih kecil di antaranya Kerajaan Tanjungbong dengan Raja Kalacungkring dan Pulomas dengan Raja Raden Werdinata.
Pada bulan ketiga, para mahluk halus yang tinggal di kawasan itu mulai melakukan gangguan. Para jin murka karena tempat tinggal mereka dihancurkan oleh Raden Wiralodra. Namun Raden Wiralodra dan Ki Tinggil bisa mengatasi gangguan para mahluk halus tersebut.
Karena tidak berhasil mengusir Raden Wiralodra, para jin melapor kepada raja mereka, Budipaksa.
Mendengar laporan warganya, Maharaja Budipaksa didampingi Mahapatih Bujarawis segera mendatangi Raden Wiralodra dan Ki Tinggil untuk meminta mereka menghentikan pekerjaan.
Namun Raden Wiralodra menolak yang menyebabkan pertarungan. Raden Wiralodra dan Budipaksa dengan mengerahkan kesaktian masing-masing. Sesudah sekian lama bertarung, Maharaja Budipaksa dan Mahapatih Bujarawis tak dapat menandingi kesaktian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil.
Raden Wiralodra mengurung Maharaja Budipaksa di dasar muara Sungai Cimanuk, sedangkan Mahapatih Bujarawis melarikan diri untuk meminta bantuan.
Baladerma pun datang. Para raja jin pun menyerang Raden Wiralodra dan Ki Tinggil, Rupanya kesaktian Werdinata, Raja kerajaan Pulomas, bisa mengimbangi kesaktian Raden Wiralodra. Akibatnya mereka terus bertarung selama dua belas bulan lamanya.
Untuk menghindari pertarungan yang berlarut-larut tanpa henti, Raja Kerajaan Tanjungbong Kalacungkring mengusulkan perdamaian. Sesudah berdebat beberapa saat, Wiralodra dan Wedinata bersedia berdamai. Untuk menjalin persahabatan, Raden Werdinata menyerahkan anaknya, Putri Inten, menjadi istri Raden Wiralodra.
Sejak kesepakatan perdamaian tercapai, pekerjaan membuka hutan permukiman penduduk pun menjadi cepat terselesaikan. Raden Wiralodra menjadi raja pertama di kerajaan lembah Sungai Cimanuk yang saat ini menjadi Kabupaten Indramayu.
Sementara Raden Werdinata dan para pengikutnya memohon kepada Raden Wiralodra supaya diberi kebebasan untuk hidup di sebuah pulau. Mereka berjanji tidak akan mengganggu manusia, terutama keturunan Raden Wiralodra.
Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh Raden Wiralodra. Maka pergilah Raden Werdinata dengan para pengikutnya ke pulau yang kini dikenal dengan nama Pulau Mas. Mereka menetap di pulau itu sampai saat ini.
Pada malam hari Pulau Mas di Kabupaten Indramayu, sering terlihat cahaya kekuningan menyerupai sinar emas. Maka disebutlah pulau tersebut oleh masyarakat sekitar dengan nama Pulau Mas. Saat ini, Pulau Mas, dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata.
Referensi:
Agni, Danu. 2013. Cerita Anak Seribu Pulau. Yogyakarta: Buku Pintar
Komandoko, Gamal. 2013. Koleksi Terbaik 100 plus Dongeng Rakyat Nusantara, PT Buku Seru.
Editor: Agus Warsudi