"Aspek legitimasi moral dan etika dalam pemilihan presiden 2024 menjadi perhatian utama, mengingat validitas hukum saja tidak cukup jika tidak didukung oleh legitimasi moral dari masyarakat," tuturnya.
Prof Susi mengatakan, demokrasi ekonomi sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tapi yang terjadi di Indonesia, justru mengedamkan demokrasi politik. Orang berpartisipasi, ikut pemilu 5 tahun sekali. Namun kelompok politik yang menang pemilu justru berpotensi mematikan demokrasi.
Di tengah-tengah situasi seperti itu, oligarki bangkit, otoritarianisme terasa, kebebasan sipil mulai ditekan. Mahasiswa-mahasiswa yang bersuara kritis mengalami intimidasi, akademisi dikriminalkan seperti kasus Bambang Heru dan Basuki Wasis.
Academic freedome yang dimiliki civitas akademika semua universitas sebetulnya diharapkan dapat menopang demokrasi, memproduksi ilmu pengetahuan dan memberikan solusi bagi masyarakat. Namun sayangnya, kritik yang dilakukan beberapa akademisi kurang mendapatkan tempat di pemerintahan atau bagi mereka yang berkuasa.
"Padahal pemerintahan ini harus menghormati sciens base, evidence base. Dengan science dan evidence base, penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan, dilaksanakan dengan rasionalitas tertentu. Ini penting bagi rakyat," ucap Prof Susi.
Sementara itu, Bernadett Szel PhD memaparkan tentang pentingnya peran pemuda dalam memperkuat dan mempertahankan demokrasi. Dalam konteks Hungaria yang mengalami perubahan politik signifikan setelah 2010.
"Generasi muda aktif terlibat dalam gerakan menentang rezim otoriter dan berupaya menyusun kekuatan kolektif untuk melawan upaya perubahan konstitusi dan kebijakan yang mereduksi nilai-nilai demokrasi," kata Bernadett.
Bernadett menyatakan, generasi muda memiliki peran dalam melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter dan mendorong demokrasi. Kolaborasi antara individu dan kelompok yang memiliki visi sejalan, tanpa memandang usia atau latar belakang sangat penting dalam upaya mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
"Kontribusi mahasiswa dan organisasi muda memiliki peran signifikan dalam mempromosikan nilai-nilai demokratis serta hak asasi manusia," ujarnya.
Dalam membahas sejarah politik Hungaria, tutur Bernadett, terjadi pergeseran dari sistem demokrasi utuh menuju rezim otoriter sejak 2010. Dia juga menyoroti tantangan yang dihadapi aktivis muda, seperti pengaruh propaganda negatif dari rezim otoriter yang menggunakan kampanye kebencian terhadap kelompok minoritas.
"Bahasa dan retorika memiliki peran penting dalam membentuk narasi politik. Karena itu, kaum muda didorong untuk memiliki kepekaan terhadap isu-isu hak asasi manusia dan membentuk jejaring global guna melawan otoritarianisme," tutur Bernadett.
Bernadett memandang pemuda sebagai kekuatan penting yang mampu menyuarakan kritik dan berjuang demi nilai-nilai demokrasi di tengah tekanan politik yang terus berkembang.
Menurut Bernadett, kondisi demokrasi di Indonesia dan Hungaria hampir sama, mengalami kemunduran. Tetapi, di Indonesia lebih mengarah ke penguatan militer dalam proses demokrasi.
"Pemerintahan otoriter seperti wabah di berbagai negara di dunia. Namun ada perbedaan, di Indonesia militer menjadi tren sebagai ancaman demokrasi, sedangkan di Hungria berbeda. Pemerintahan sipil justru melemahkan demokrasi itu sendiri," ucap Bernadett.
Menurut Bernadett, langkah yang harus diambil rakyat untuk melawan rezim otoriter adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan NGO memiliki peran besar dalam menyadarkan masyarakat akan hak-hak mereka. Rakyat jangan dibiarkan sendiri.
Sebab jika itu terjadi, rakyat semakin lemah dalam melawan tekanan rezim yang memiliki kekuasaan, kekuatan dan uang. Rezim otoriter itu tidak punya ideologi. Mereka hanya punya power, kepentingan, dan uang.
"Otoritarianisme itu mahal sehingga rezim otoriter cenderung dekat dengan korupsi, melindungi oligarki, dan orang-orang di sekitarnya," ujar Bernadett.
Pemaparan para narasumber itu mengundang tanggapan aktif dari mahasiswa dan dosen. Mereka menyoroti tentang gerakan masyarakat terus direpresi oleh sistem dan penegakan hukum sumir di Indonesia.
Bilal Dewansyah, dosen Hukum Tata Negara FH Unpad menyoroti tentang partisipasi dalam pembentukan hukum di Hungaria dan Indonesia.
"Berbagai taktik digunakan rezim otoriter untuk melemahkan proses demokrasi, seperti konsultasi nasional palsu dan kampanye propaganda," kata Bilal.
Editor : Donald Karouw
partai perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah universitas padjajaran demokrasi di Indonesia partai politik
Artikel Terkait