Wina, lulusan pascasarjana program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini menuturkan, penting untuk merawat Mamaos Cianjuran dengan melibatkan generasi muda termasuk gen Z.
“Namun tentu saja agar bisa menarik mereka kita harus berupaya selaras juga dengan perkembangan teknologi dan budaya saat ini. Modernitas itu kan tidak harus membuat sebuah tampilan tradisi selalu berada di emperan sehingga tak bisa tampil dipangung era 4.0,” ujar Wina.
Sementara itu, Direktur Program dan Pengembangan SDM Lokatmala Foundation Dika Dzikriawan mengatakan, Lokatmala Foundation memiliki perhatian besar terhadap pelestarian Mamaos Cianjuran. “Kami tentu saja sangat mengapresiasi Mamaos Cianjuran bisa tampil di panggung-panggung budaya yang terhormat, seperti saat-saat awal Mamaos Cianjuran hadir ke permukaan,” kata Dika Dzikriawan yang juga penembang Mamaos Cianjuran.
Alumni pascasarjana Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta ini optimistis Mamaos Cianjuran bisa kembali eksis di tengah masyarakat. Bukan sekedar menjadi musik pengiring saat hajatan sehingga terkadang tidak menjadi pusat perhatian, tetapi benar-benar menjadi kebutuhan untuk ditampilkan di acara-acara resmi pemerintahan atau kenegaraan.
Editor : Agus Warsudi
Bahasa Sunda Bahasa Sunda halus Bahasa Sunda lemes budaya sunda Budayawan Sunda pegiat seni dan budaya seni dan budaya seni dan budaya Sunda kabupaten cianjur
Artikel Terkait