Catatan Tome Pires sama dengan temuan fakta Bhujangga Manik, pendeta dari Sunda yang berziarah ke Jawa menuturkan kisah serupa. Dalam ziarah ke Majapahit, Bhujangga Manik tidak mencatat ada peristiwa Perang Bubat.
Dia banyak mengunjungi tempat-tempat suci di Jawa dan diterima dengan baik oleh orang Jawa kala itu. Ini menggambarkan tidak ada permusuhan antara Sunda dan Jawa. Kedatangan pendeta Sunda ke Jawa untuk ziarah menunjukkan Sunda sangat menghormati Jawa.
Perang Bubat
Lantas apa yang menyebabkan "permusuhan" itu terjadi dan muncul stereotip negatif tentang masing-masing etnis? Berdasarkan analisis pakar sejarah dan sosiologi, akar masalah "permusuhan" Jawa dan Sunda adalah cerita tentang Perang Bubat yang termuat dalam Kidung Sundayana dan Pararaton pada masa kolonial Belanda.
Tujuan utama propaganda Perang Bubat adalah memecah belah kerukunan dua etnis Sunda dan Jawa. Sebab, dua etnis terbesar di Pulau Jawa itu merupakan potensi ancaman sangat berbahaya bagi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda kala itu.
Diketahui, Kidung Sundayana yang ditulis pujangga Bali menceritakan, konon terjadi peristiwa berdarah Perang Bubat antara pasukan Kerajaan Sunda dengan Majapahit di alun-alun Bubat, kawasan utara Trowulan, ibu kota Majapahit, pada 1279 Saka atau 1357 Masehi.
Editor : Agus Warsudi
adat sunda budaya sunda etnis Sunda Cerita rakyat Sunda kerajaan sunda perang bubat majapahit gajah mada hayam wuruk jalan hayam wuruk
Artikel Terkait