BANDUNG BARAT, iNews.id - Rimbun pepohonan beringin nan rindang melengkapi hening dan sepi di Taman Makam Pahlawan, Kampung Warung Pulus, Desa Batujajar Barat, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Sabtu (11/10/2023).
Taman Makam Pahlawan yang berada dekat dengan aliran Sungai Citarum ini didominasi pusara pahlawan tanpa nama. Pusara itu bercat merah-putih dan hanya tertera sebuah tulisan 'pahlawan tak dikenal'. Ada delapan nisan tanpa nama yang ada di sana.
Selain itu, ada juga pusara pejuang lainnya yang dilengkap dengan nama, yakni Letkol Oon Sudarna, Mayor Inf Bambang, H.D. Jawadi S, serta Peltu Rukjat. Seluruh kuburan itu tampak teduh dipayungi pohon beringin besar serta sebuah monumen megah setinggi 3 meter yang dibalut keramik dan ukiran bintang warna keemasan.
Cikal bakal Taman Makam Pahlawan di tepi Sungai Citarum itu diceritakan Amar Sudarman, peneliti sejarah Bandung Barat. Memorinya masih mengingat betul ketika Sungai Citarum menjadi kuburan massal korban pembantaian tentara Belanda KNIL tahun 1946-1947 atau tepatnya pascakemerdekaan Republik Indonesia.
Saat itu, tengah berlangsung operasi Korps Pasukan Khusus KNIL atau Korps Speciale Troepen (KST) melakukan pembersihan terhadap masyarakat pro-kemerdekaan. Alhasil di daerah Kampung Warung Pulus Sungai Citarum kerap penuh Mayat dan potongan tubuh mengambang terbawa arus deras dari hulu.
Sasarannya, bukan saja para anggota laskar atau milisi yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi juga ada warga dari anak-anak hingga para lansia. Warga sipil kerap dicurigai jadi mata-mata laskar-laskar kemerdekaan.
"Kalau saya pakai rakit menyebrang Sungai Citarum lewat Warung Pulus pasti selalu lihat kaki manusia mengambang atau tubuh laki-laki terikat," ujar Amar.
Saat tragedi pembantaian berlangsung, Amar masih berusia 44 tahun. Dia mengatakan setiap hari warga selalu menemukan mayat di Citarum karena KST mengeksekusi pejuang kemerdekaan mulai dari daerah Cangkir Majalaya sampai Ranca Irung Cihampelas.
Sebelum dilempar ke Citarum, pasukan KST menyiksa dengan cara brutal. Paling umum, korban diikat dengan posisi ditelanjang dada, lalu digusur sebuah mobil Jeep, hingga berakhir eksekusi tembak mati.
"Saat Sungai Citarum surut, sering ditemukan mayat terdampar di pinggir sungai sehingga masyarakat harus dorong ke tengah memakai bambu agar terbawa arus," ujar Amar.
Editor : Asep Supiandi
Artikel Terkait