3. Kaulinan Barudak
Permainan tradisional anak-anak merupakan kebudayaan Jawa Barat yang hampir punah. Perhatian anak saat ini beralih ke permainan modern, terlebih di era digitalisasi banyak menggandrungi semisal game online. Padahal kaulinan barudak sarat akan edukasi dalam pembentukan karakter anak.
Beberapa kaulinan budak yang saat ini sudah jarang ditemukan, di antaranya:
a. Beklen
b. Sapintrong
c. Bebeletokan
d. Ucing sumput
e. Gatrik
f. Perepet jengkol
g. Dampuh
e. Maen kaleci
Kaulinan barudak tersebut memiliki fungsi ilmu yang mendidik seorang anak juga orang dewasa untuk berjiwa sportif. Fungsi yang lainnya adalah sebagai media belajar, hal ini penting terutama bagi anak-anak.
4. Tarawangsa
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kebudayaan Jawa Barat yang hampir punah. Istilah Tarawangsa sendiri memiliki dua pengertian: alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Dalam pertunjukan tarawangsa, pemain terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng (alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi). Semua pemain tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata antara 50 hingga 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.
Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula saehu/saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi.
Menari dalam kesenian tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering tidak sadarkan diri.
Editor : Asep Supiandi
Artikel Terkait