BANDUNG, iNews.id - Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati di Kota Bandung dituntut hukuman mati dan kebiri kimia. Tuntutan itu dibacakan tim jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Jabar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan RE Martadinata, Kota Bandung.
Apa itu kebiri kimia dan bagaimana dampaknya bagi yang menerima hukuman itu? Dihimpun dari berbagai sumber, kebiri kimia sampai saat ini belum pernah diterapkan terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Padahal, hukuman kebiri kimia di Indonesia tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 tahun 2020 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Peraturan tersebut merupakan turunan dari Anak asal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Pasal ini dijadikan dasar bagi JPU menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati dan kebiri kimia.
PP Nomor 7-/2020 secara khusus meningkatkan sanksi hukuman pidana terhadap para predator seksual anak yang disertai dengan kebijakan rehabilitasi serta pemasangan alat deteksi elektronik sesaat setelah pelaku kejahatan seksual anak keluar dari penjara. Alat tersebut berupa gelang elektronik yang terpasang selama kurang lebih dua tahun.
Secara umum, kebiri kimiawi dapat menurunkan hasrat seksual pelaku kejahatan asusila. Dalam prosedur kebiri kimia, tidak ada tindakan menghilangkan salah satu organ reproduksi melalui pembedahan sebagaimana kebiri fisik.
Kebiri kimia dilakukan dengan memberikan zat atau obat dalam bentuk suntik untuk mengurangi hasrat dan fungsi seksual para pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.
Penggunaan obat-obatan untuk kebiri kimia sebenarnya memiliki manfaat sebagai terapi hormonal untuk beberapa penyakit tertentu, misalnya kanker prostat. Kebiri kimia bekerja dengan cara mengurangi kadar testosteron di tubuh pria yang merupakan hormon utama penghasil hasrat dan fungsi seksual.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa para pria pelaku pelecehan seksual memiliki hormon seks (androgen) atau testosteron lebih tinggi sehingga mereka sulit mengendalikan nafsu seksualnya.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kebiri kimia diberlakukan sebagai salah satu hukuman bagi pelaku kekerasan seksual anak. Selain dengan pemberian obat-obatan untuk menurunkan jumlah hormon testosteron, para pelaku kekerasan seksual anak juga akan menjalani psikoterapi guna mengendalikan hasrat seksualnya.
Tiga jenis obat yang dapat digunakan untuk kebiri kimia antara lain, Medroxyprogesterone acetate, Cyproterone acetate, dan Agonis Lutenizing Hormone Releasing Hormone (LHRH).
Ketiga jenis obat tersebut diketahui dapat menurunkan kadar testosteron dan estradiol pria. Estradiol sendiri adalah hormon estrogen yang dapat memengaruhi kekuatan tulang, kesehatan jantung, dan fungsi otak.
Hal ini menunjukkan hubungan antara kebiri kimia dengan beberapa penyakit, seperti osteoporosis, penyakit jantung, dan diabetes.
Selain itu, kebiri kimia juga dapat memberikan dampak ketidaksuburan (infertilitas), sensasi rasa panas, berkeringat, dan jantung berdebar (hot flashes), anemia, dan depresi.
Kebiri kimia juga dapat meningkatkan risiko pembesaran payudara pada pria yang disebut dengan ginekomastia. Semakin lama kebiri kimia dilakukan, risiko munculnya efek samping akan meningkat.
Namun selain kebiri kimia, psikoterapi juga perlu dilakukan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak guna mencegah terulangnya tindakan pelaku. Kejahatan seksual merupakan masalah sosial yang perlu mendapat perhatian dari seluruh lapisan masyarakat.
Tak hanya peran dari pihak berwajib dan pemerintah, sikap siaga dari orang tua juga penting dalam menjaga anak agar terhindar dari pelecehan seksual.
Diberitakan sebelumnya, kriminolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Yesmil Anwar mengatakan, hukuman kebiri kimia terhadap pelaku pemerkosaan keji seperti dilakukan Herry Wirawan terhadap 13 santriwati, sulit diterapkan di Indonesia. Sebab, banyak penolakan dari pakar dengan berbagai pertimbangan.
Yesmil mengatakan, para pakar, terutama dari kedokteran menyampaikan penolakan terhadap hukuman kebiri dari sudut pandang pelaku. Menurut para pakar itu, hukuman kebiri akan merusak kepribadian pelaku.
Karenanya, hampir semua negara di dunia tidak ada yang menerapkan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual keji. "Perdebatan soal hukum kebiri kan sudah dari dulu. Tetapi yang diributkan selalu dari sisi pelaku," kata Yesmil kepada wartawan, Kamis (16/12/2021).
Lantaran hukuman kebiri sulit diterapkan, lantas hukuman apa yang tepat untuk Herry Wirawan, predator seks anak ini? Menurut Yesmil pelaku patut dituntut hukuman maksimal dan pemberatan.
"Hukuman seberat-beratnya patut diberikan. Namun saya lihat di peraturan perundang-undangan perlindungan anak (UU Nomor 35 tahun 2014), tidak ada hukuman yang lebih dari 15 tahun. Jecuali hakim memberikan hukuman tambahan, bukan hanya hukuman badan. Kalau bisa dikurungnya jangan di Kota, tapi di Nusakambangan jadi berat," ujar Yesmil.
Selain hukuman kebiri, tutur Emil, dalam kasus pemerkosaan keji, pelaku juga sulit untuk dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau mati. Sebab, pelaku dalam delik hukum tidak sampai menghilangkan nyawa korban atau pembunuhan berencana.
"Orang kayak gini (pemerkosa anak-anak), sama negara juga dikasih pengacara. Jadi paling dijatuhi hukuman maksimal dan tambahan bisa mulai dari denda dan kerja sosial itu bisa dilakukan," tutur Yesmil.
Editor : Agus Warsudi
Dihukum kebiri Hukuman Kebiri kebiri kebiri kimia pidana kebiri kimiawi cabuli santriwati pemerkosa santriwati pemerkosaan santriwati pencabulan santriwati kota bandung
Artikel Terkait