BANDUNG, iNews.id - Dulu, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, sempat masuk kategori desa tertinggal. Namun kini, Desa wangisagara memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan sejumlah lini usaha yang mampu menyejahterakan warga.
Lewat BUMDes Niagara, Desa Wangisagara ini kini memiliki pendapatan asli desa (PADes) ratusan juta setiap tahun. BUMDes Niagara berhasil meraih omset sebesar Rp30 miliar dengan laba Rp1,8 miliar per tahun. "Tahun kemarin (2020) kami menyetor untuk PADes sampai Rp780 juta," kata Direktur Utama BUMDes Niagara Neneng Santiani.
Menurut Neneng, saat ini BUMDes Niagara memiliki beberapa unit usaha, mulai dari pengelolaan pasar tradisional, koperasi simpan pinjam, jual beli produk kerajinan, hingga pengelolaan sarana olahraga dan tempat wisata.
"Dari lini usaha itu, saat ini BUMDes mengelola aset senilai Rp16 miliar yang semuanya milik pemerintah desa," ujar Neneng.
Dia menuturkan, keberhasilan BUMDes ini berawal dari inisiatif warga dan aparatur desa untuk membangun pasar tradisional pada medio 2000-an silam. Saat itu, Desa Wangisagara masih masuk kategori desa tertinggal dan belum memiliki pasar.
Sehingga warga sulit untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Dulu ke pasar terdekat sekitar empat kilometer. Akses jalan pun belum bagus," ujarnya.
Melihat kondisi itu, pemerintah desa kemudian memanfaatkan modal Rp150 juta untuk membangun 48 kios. Pasar itu kini semakin berkembang sehingga terdapat 150 kios yang disewakan per 10 tahun sekali. Selain dari sewa kios, BUMDes Niagara juga menerima pendapatan dari retribusi.
Koperasi simpan pinjam yang menyasar pedagang dan warga sekitar sebagai nasabahnya juga berkembang dan membukukan laba signifikan. Bahkan, hingga saat ini keuntungan terbesar berasal dari simpan pinjam yang telah memiliki sekitar 3.000 nasabah, termasuk dari desa lain.
Kendati begitu, mengelola BUMDes Niagara bukan tanpa persoalan. Neneng mengakui pihaknya masih kesulitan ketika mengembangkan unit usaha jual beli produk kerajinan.
Terutama dalam membuka pasar untuk menjual hasil produksi warga sekitar seperti sandal, sepatu, dompet, dan tas. "Pemasarannya masih sangat terbatas. Padahal dengan menjual produk-produk itu, kami ingin lebih memberdayakan masyarakat," tutur Neneng.
Selain itu, Neneng mengakui BUMDes belum optimal dalam mengelola aset-aset yang ada. Meski bernilai fantastis Rp16 miliar, BUMDes Niaraga belum memiliki sumber daya manusia (SDM) khusus dalam penataan aset.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Barat Bambang Tirtoyuliono bersyukur saat ini semakin banyak BUMDes di Jawa Barat yang telah berhasil sehingga berkontribusi terhadap pemasukan kas desa.
Meski begitu, dia memastikan perlu pendampingan terhadap perusahaan pelat merah tersebut agar kinerjanya semakin baik sehingga berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat.
"Pemerintah punya kewajiban untuk memberikan pendampingan tentang tata kelola keuangan, aset. Salah satunya melalui program Akasara (Akademi Desa Juara)," kata Tirtoyuliono.
DPMD Jabar, ujar Tirtoyuliono, akan membantu pengrajin yang diberdayakan BUMDes Niagara agar menghasilkan produk dengan desain yang baik dan sesuai keinginan pasar.
"Termasuk membantu untuk membuka akses pasar, seperti memberi pelatihan digital marketing dan mempertemukan dengan offtaker," ujarnya.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait