BANDUNG, iNews.id - Suku Sunda tidak memiliki mitologi tentang penciptaan yang mengisahkan asal usul seperti etnis lain. Bahkan, tidak ada pula cerita rakyat yang menceritakan tentang bagaimana dan sejak kapan Suku Sunda mendiami wilayah Pulau Jawa bagian Barat.
Apalagi catatan yang menjelaskan tentang asal mula suku ini, sama sekali tidak ditemukan. Namun yang pasti, Suku Sunda memiliki adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan sendiri, berbeda dari suku lain yang menempati Pulau Jawa.
Para pakar menduga pada abad-abad awal masehi, sekelompok kecil Suku Sunda menjelajahi hutan, pegunungan, dan melakukan budaya tebas bakar untuk membuka hutan. Orang Sunda awal, lebih sebagai peladang daripada petani padi.
Mayoritas Suku Sunda mendiami wilayah Jawa bagian barat, dari Provinsi Jawa Barat hingga Banten. Namun kini, banyak juga Suku Sunda yang bermukim di luar Pulau Jawa.
Seperti di Kalimantan, Sumatera, bahkan Papua. Jumlah Suku Sunda yang hidup di luar Pulau Jawa diperkirakan lebih dari 3 juta jiwa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar pada 2022, jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat sebanyak 49.935.858 jiwa. Diperkirakan jumlah Suku Sunda di Provinsi Jabar lebih dari 80 persen dari total penduduk atau sekitar 40 juta jiwa.
Mereka tidak hanya tinggal di pelosok desa, tetapi juga mayoritas di perkotaan. Pada 1998, jumlah Suku Sunda yang tinggal di perkotaan rata-rata mencapai 35 persen dari total popluasi satu kota.
Tak heran, bahasa mayoritas yang digunakan di setiap daerah di Jawa Barat adalah Bahasa Sunda. Para pendatang dari daerah lain, seperti Padang, Batak, dan Jawa, mau tidak mau harus bisa menggunakan Bahasa Sunda. Jangan heran jika ada orang Batak yang fasih berbahasa Sunda.
Sebab dalam pergaulan sehari-hari, sejak mereka kecil sampai dewasa, menggunakan bahasa Sunda. Seperti di Kota/Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Cimahi, Kota/Kabupaten Bogor, Purwakarta, Kuningan, Majalengka, Garut, Kota/Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Pangandaran, dan lain-lain.
Sunda Berarti Putih Suci
Sunda memiliki makna, bagus, baik, putih, bersih, cemerlang, atau segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda memiliki etos, watak, dan karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup.
Watak atau karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (terampil), dan pinter (pandai atau cerdas).
Sistem kepercayaan yang membentuk fondasi watak atau karakter asli orang Sunda yaitu, Sunda Wiwitan. Petunjuk tentang agama asli orang Sunda ini ditemukan dalam puisi-puisi epik kuno Wawacan dan di antara Suku Baduy yang terpencil di Banten.
Suku Baduy menyebut agama mereka sebagai Sunda Wiwitan yang berarti orang Sunda yang paling mula-mula. Kepercayaan ini juga masih lestari dan dianut sebagian kecil Suku Sunda di Jawa Barat. Seperti di Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Kemudian, Kampung Adat Ciptagelar di Sukabumi, Cireundeu di Kota Cimahi, dan beberapa kampung adat daerah lain di Jawa Barat. Mereka masih mempraktikan sistem kepercayaan warisan leluhur. Mereka mempercayai keberadaan Sang Hyang Jati Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa.
Namun tidak semua warga kampung adat Sunda yang masih mempertahankan tradisi leluhur, menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Sebab sebagian sudah memeluk agama Islam.
Yang masih terbebas dari elemen-elemen Islam adalah Sunda Wiwitan warga Baduy Dalam. Bahkan Sunda Wiwitan yang dianut Baduy Dalam tidak banyak dipengaruhi oleh karakteristik Hindu.
Padahal, selama ratusan tahu, Suku Sunda notabene berada di bawah kekuasaan kerajaan bercorak Hindu, seperti Salaknagara, Tarumanagara, dan Padjadjaran. Pengaruh Hindu terhadap Suku Sunda, tidak sekuat orang Jawa.
Cikal Bakal Peradaban Nusantara
Suku Sunda telah melahirkan peradaban besar di Nusantara. Keberadaan Kerajaan Salakanagara pada abad II hingga akhir abad III Masehi menjadi salah satu bukti Suku Sunda memiliki pengaruh besar di Nusantara. Salaka berarti perak dan nagara memiliki arti kerajaan.
Kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Tarumanagara yang berdiri pada akhir abad III hingga awal abad VII Masehi pascaruntuhnya kerajaan Salakanagara.
Dari namanya, Tarumanagara berarti Kerajaan Tarum. Nagara dalam Bahasa Sunda berarti kerajaan. Sedangkan Tarum merujuk kepada Sungai Citarum. Dihimpun dari berbagai sumber, Tarumanagara merupakan kerajaan tertua kedua di Nusantara, setelah Kutai.
Tarumanagara mencapai puncak kejayaan atau zaman keemasan saat dipimpin oleh Purnawarman pada abad V hingga awal VI Masehi. Kerajaan ini berdiri sekitar akhir abad III atau awal abad IV setelah runtuhnya Salakanagara atau Kerajaan Perak.
Wilayah kekuasaan Tarumanagara membentang di seluruh wilayah Jawa bagian barat hingga sebagian wilayah barat Jawa Tengah. Para pakar ilmu purbakala menyebutkan, Tarumanagara atau Kerajaan Tarum berdiri di antara Sungai Citarum dan Cisadane.
Diperkirakan, Tarumanagara berlokasi di Kota/Kabupaten Bogor saat ini. Hal itu mengacu kepada ditemukannya sejumlah prasasti di kedua daerah itu. Semua prasasti yang ditemukan menggunakan Bahasa Sansekerta dengan huruf Palawa. Ini menandakan, Tarumanagara didirikan oleh pendatang dari India.
Kerajaan Tarumanagara meredup pada awal abdad ke-7. Kekuasaan Tarumanagara lantas diwariskan kepada Kerajaan Sunda Galuh yang dipimpin oleh Tarusbawa. Tokoh ini merupakan menantu Linggawarman, Raja Tarumanaga.
Di bawah kepemimpinan Tarusbawa, Tarumanagara kemudian diganti menjadi Kerajaan Sunda pada 670. Sejak Tarusbawa bertakhta, nama Tarumanaga tenggelam berganti dengan Kerajaan Sunda Galuh.
Para pakar menyimpulkan, Tarumanagara tidak runtuh, tetapi berganti nama saja. Kekuasaan kerajaan Sunda Galuh meluas ke timur, yang saat ini disebut Priangan Barat dan Priangan Timur, masih di wilayah Jawa bagian barat.
Selanjutnya, setelah Kerajaan Sunda Galuh meredup, muncul Kerajaan Pakuan Padjadjaran. Kekuasaan Suku Sunda terhadap wilayah Jawa bagian barat semakin kokoh di zaman keemasan Kerajaan Padjadjaran.
Editor : Agus Warsudi