get app
inews
Aa Text
Read Next : Peringati HUT ke-3 Papua Tengah, Partai Perindo: Bekerja dengan Hati Layani Rakyat

Waketum Partai Perindo: Jangan sampai Demokrasi di Indonesia Terus Alami Kemunduran

Sabtu, 26 Juli 2025 - 15:59:00 WIB
Waketum Partai Perindo: Jangan sampai Demokrasi di Indonesia Terus Alami Kemunduran
Waketum Partai Perindo Ferry Kurnia Rizkiyansyah saat menjadi pembicara dalam diskusi demokrasi di FH Unpad, Bandung. (Foto: MPI/Agus Warsudi)

BANDUNG, iNews.id - Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universtas Padjadjaran (PSKN FH Unpad) menggelar diskusi bertema 'Dialog Resisting Authoritarianism in Indonesia and Hungary: Youth, Parliament, and Democratic Alliances" di Gedung FH Unpad, Jalan Dipatiukur, Kota Bandung, Jumat (25/7/2025). Tema ini diangkat didasari kemunduran demokrasi yang terjadi di berbagai negara, terutama Indonesia dan Hungaria.

Forum diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Partai Perindo dan mantan komisioner KPU RI Dr Ferry Kurnia Rizkiyansyah MSi. Kemudian, Constitutional Law Professor Unpad Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM serta Bernadett Szél PhD, mantan anggota parlemen Hungaria periode 2012-2022, peneliti dari Taiwan Fellow at Sochow University dan Prime Ministerial Candidate from the LMP–Hungarian Green Party.

Sejumlah mahasiswa program studi Hukum Tata Negara (HTN) FH Unpad juga hadir dalam diskusi yang digelar secara hybrid, online dan offline serta disiarkan secara langsung melalui channel YouTube Departemen HTN Unpad. Para mahasiswa pun terlibat aktif dalam sesi tanya jawab.

Narasumber terlibat diskusi mendalam terkait kehadiran rezim otoritarian dan peran berbagai elemen, seperti pemuda, oposisi, dan masyarakat sebagai kesatuan aliansi demokratis bersama-sama melakukan perlawanan terhadap pemerintahan otoriter.

Dr Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, forum dialog ini sangat penting. Dari dialog ini, peserta bisa menggali informasi, pemahaman dan pengetahuan tentang otoriterianisme di Indonesia dan Hungaria.

Yang menarik adalah, kata Ferry, dialog ini membicarakan tentang kemunduran demokrasi di Indonesia. Dilihat dari berbagai perspektif dan data, memang kemunduran demokrasi itu sedang terjadi.

"The Economicst Intelligence Unit meliris data nilai indeks demokrasi di Indonesia hanya 6,44. Ini turun dari 2023-2024. Posisi Indonesia berada di 56 (dari total 167 negara). Ini artinya, Indonesia mengalami kemunduran dengan kategori flawed democracies atau demokrasi cacat," kata Ferry, Jumat (25/7/2025).

Karena itu, diskusi ini menarik dalam upaya agar demokrasi di Indonesia tidak terus mengalami kemunduran.

"Harus kita perbaiki bersama," ujarnya.

Menurut Ferry, demokrasi di Indonesia sebenarnya berjalan dari aspek pemilihan umum (pemilu), kelembagaan, proses pemenuhan hak-hak dasar rakyat hingga check and ballance.

Namun demokrasi di Indonesia masih mengalami hal-hal yang dikatakan orang sebagai sebuah kemunduran. Seperti, isu-isu demokrasi dan non-goverment organization (NGO) pro-demokrasi dilemahkan.

Ferry menuturkan, dalam kondisi ini, partai politik harus betul-betul kuat melaksanakan fungsi check and ballance. Partai politik harus berperan menjadi institusi utama dalam menghidupkan demokrasi. Begitu juga legislatif.

"Ruang-ruang pemilihan umum harus betul-betul dibuka, melibatkan rakyat secara lebih aktif. Sehingga tidak masuk pada wilayah authoritarianisme dan oligarki. Sekarang kan sedang dibuka ruang untuk revisi UU Pemilu, saya pikir ini penting dibuka agar kemunduran demokrasi tidak terus terjadi," tutur Ferry.

Ferry mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menjaga kualitas demokrasi yang memerlukan perhatian menyeluruh terhadap berbagai aspek fundamental.

Perlindungan institusi negara, kata Ferry, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dari pelemahan, harus menjadi prioritas utama untuk menjaga checks and balances dalam sistem pemerintahan.

Partisipasi publik yang berkualitas juga perlu ditingkatkan melalui edukasi politik komprehensif meskipun menghadapi kendala ekonomi rakyat menurun. Reformasi birokrasi terutama di tingkat lokal menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi kekakuan dan stagnasi yang menjauhkan pemerintah dari masyarakat.

"Perluasan ruang kebebasan sipil dan pelembagaan partisipasi di media sosial (medsos) pun perlu dilakukan secara elegan untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat tanpa menimbulkan kekhawatiran berlebihan dari pemerintah," ucap Ferry.

Ferry menyatakan, transformasi budaya politik dari bersifat feodal menuju budaya politik merdeka harus didorong melalui peningkatan literasi budaya.

"Sehingga, partisipasi politik dapat dibangun secara komprehensif dari hulu ke hilir hingga level kebijakan terbebas dari praktik politik uang, dan benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat dalam membangun demokrasi sehat dan berkelanjutan," ujarnya.

Pandangan sama disampaikan Prof Susi Dwi Harijanti. Prof Susi memaparkan tentang peran institusi pendidikan yang harus aktif dalam menjaga demokrasi dari cengkraman kekuasaan penguasa dengan memberikan pencerdasan kepada masyarakat.

"Diskusi hari ini membahas isu penting yang saat ini dihadapi Indonesia, yaitu, bagaiman memerangi otoritarianisme. Memerangi otoritarianisme itu membutuhkan kerja sama, dari generasi muda, parlemen (DPR/MPR) dan lembaga-lembaga lain," kata Prof Susi.

Diskusi ini, ujar Prof Susi, para narasumber dan peserta mencoba memetakan situasi yang dihadapi Indonesia saat ini. Sejak era reformasi 1998, telah banyak perubahan. Tetapi perubahan-perubahan itu melenceng jauh dari tujuan reformasi, yaitu, tegaknya negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Artinya, demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran dalam sepuluh tahun terakhir. "Contohnya, ketika kita bicara tentang demokrasi konstitusional, kita melihat pembentukan undang-undang sangat bermasalah, partisipasi publik diminimalkan. UU TNI yang tidak lama setelah diundangkan langsung diajukan permohonan uji formil sebanyak 14. Ini menjadi sejarah pertama di Indonesia sejak Mahkamah Konstitusi didirikan," ujar Prof Susi.

Prof Susi juga menyoroti tentang kualitas demokrasi di Indonesia dan kehadiran institusi pendidikan tinggi yang harus menjadi pendorong utama dalam menjaga demokrasi dengan melakukan pencerdasan kepada masyarakat tentang makna dari negara hukum.

Saat ini, tutur Prof Susi, kesadaran masyarakat semakin tinggi akan pentingnya pembentukan undang-undang yang demokratis dan berkualitas, tidak hanya memperhatikan aspek formal tetapi juga menghasilkan dampak nyata dan legitimasi dari rakyat.

Menurut Prof Susi, Mahkamah Konstitusi hadir dalam menguji formalitas undang-undang menjadi poin penting dalam memastikan proses legislasi yang transparan dan sesuai prinsip demokrasi.

"Aspek legitimasi moral dan etika dalam pemilihan presiden 2024 menjadi perhatian utama, mengingat validitas hukum saja tidak cukup jika tidak didukung oleh legitimasi moral dari masyarakat," tuturnya.

Prof Susi mengatakan, demokrasi ekonomi sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tapi yang terjadi di Indonesia, justru mengedamkan demokrasi politik. Orang berpartisipasi, ikut pemilu 5 tahun sekali. Namun kelompok politik yang menang pemilu justru berpotensi mematikan demokrasi.

Di tengah-tengah situasi seperti itu, oligarki bangkit, otoritarianisme terasa, kebebasan sipil mulai ditekan. Mahasiswa-mahasiswa yang bersuara kritis mengalami intimidasi, akademisi dikriminalkan seperti kasus Bambang Heru dan Basuki Wasis.

Academic freedome yang dimiliki civitas akademika semua universitas sebetulnya diharapkan dapat menopang demokrasi, memproduksi ilmu pengetahuan dan memberikan solusi bagi masyarakat. Namun sayangnya, kritik yang dilakukan beberapa akademisi kurang mendapatkan tempat di pemerintahan atau bagi mereka yang berkuasa.

"Padahal pemerintahan ini harus menghormati sciens base, evidence base. Dengan science dan evidence base, penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan, dilaksanakan dengan rasionalitas tertentu. Ini penting bagi rakyat," ucap Prof Susi.

Sementara itu, Bernadett Szel PhD  memaparkan tentang pentingnya peran pemuda dalam memperkuat dan mempertahankan demokrasi. Dalam konteks Hungaria yang mengalami perubahan politik signifikan setelah 2010.

"Generasi muda aktif terlibat dalam gerakan menentang rezim otoriter dan berupaya menyusun kekuatan kolektif untuk melawan upaya perubahan konstitusi dan kebijakan yang mereduksi nilai-nilai demokrasi," kata Bernadett.

Bernadett menyatakan, generasi muda memiliki peran dalam melakukan perlawanan terhadap rezim otoriter dan mendorong demokrasi. Kolaborasi antara individu dan kelompok yang memiliki visi sejalan, tanpa memandang usia atau latar belakang sangat penting dalam upaya mempertahankan nilai-nilai demokrasi.

"Kontribusi mahasiswa dan organisasi muda memiliki peran signifikan dalam mempromosikan nilai-nilai demokratis serta hak asasi manusia," ujarnya.

Dalam membahas sejarah politik Hungaria, tutur Bernadett, terjadi pergeseran dari sistem demokrasi utuh menuju rezim otoriter sejak 2010. Dia juga menyoroti tantangan yang dihadapi aktivis muda, seperti pengaruh propaganda negatif dari rezim otoriter yang menggunakan kampanye kebencian terhadap kelompok minoritas.

"Bahasa dan retorika memiliki peran penting dalam membentuk narasi politik. Karena itu, kaum muda didorong untuk memiliki kepekaan terhadap isu-isu hak asasi manusia dan membentuk jejaring global guna melawan otoritarianisme," tutur Bernadett.

Bernadett memandang pemuda sebagai kekuatan penting yang mampu menyuarakan kritik dan berjuang demi nilai-nilai demokrasi di tengah tekanan politik yang terus berkembang.

Menurut Bernadett, kondisi demokrasi di Indonesia dan Hungaria hampir sama, mengalami kemunduran. Tetapi, di Indonesia lebih mengarah ke penguatan militer dalam proses demokrasi.

"Pemerintahan otoriter seperti wabah di berbagai negara di dunia. Namun ada perbedaan, di Indonesia militer menjadi tren sebagai ancaman demokrasi, sedangkan di Hungria berbeda. Pemerintahan sipil justru melemahkan demokrasi itu sendiri," ucap Bernadett.

Menurut Bernadett, langkah yang harus diambil rakyat untuk melawan rezim otoriter adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan NGO memiliki peran besar dalam menyadarkan masyarakat akan hak-hak mereka. Rakyat jangan dibiarkan sendiri.

Sebab jika itu terjadi, rakyat semakin lemah dalam melawan tekanan rezim yang memiliki kekuasaan, kekuatan dan uang.  Rezim otoriter itu tidak punya ideologi. Mereka hanya punya power, kepentingan, dan uang.

"Otoritarianisme itu mahal sehingga rezim otoriter cenderung dekat dengan korupsi, melindungi oligarki, dan orang-orang di sekitarnya," ujar Bernadett.

Pemaparan para narasumber itu mengundang tanggapan aktif dari mahasiswa dan dosen. Mereka menyoroti tentang gerakan masyarakat terus direpresi oleh sistem dan penegakan hukum sumir di Indonesia.

Bilal Dewansyah, dosen Hukum Tata Negara FH Unpad menyoroti tentang partisipasi dalam pembentukan hukum di Hungaria dan Indonesia.

"Berbagai taktik digunakan rezim otoriter untuk melemahkan proses demokrasi, seperti konsultasi nasional palsu dan kampanye propaganda," kata Bilal. 

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut