Unan Djoendjoenan Pejuang asal Bandung Gugur Dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya

BANDUNG, iNews.id - Banyak pahlawan dari Tatar Sunda. Selain yang telah menyandang gelar sebagai Pahlawan Nasional, banyak di antara pahlawan dari Tatar Sunda yang tak tertera dalam catatan sejarah perjuangan bangsa.
Walaupun begitu pahlawan tetaplah pahlawan yang patut diapresiasi dan dikenang jasa serta pengorbanannya. Salah satu pahlawan yang mungkin banyak orang belum tahu adalah Abdul Rachman Djoendjoenan, putra dari dr Djoenjoenan Setiakoesoemah.
Abdul Rachman Djoendjoenan atau akrab disapa Unan gugur dalam perang 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu, pecah pertempuran sengit antara para pejuang kemerdekaan Indonesia melawan tentara sekutu.
Sebelum Abdul Rachman Djoendjoenan dipastikan gugur dalam perang 10 November 1945, keluarga dr Djoendjoenan tak mendapatkan kabar keberadaan Unan selama 20 tahun lamanya.
Dikutip dari wawancara pegiat literasi dan media sosial yang tergabung dalam komunitas Nyarios Sunda (Ngamumule Basa Sunda) Tatang Sumarsono dengan Dr (HC) Hj Popong Kurniasih atau akrab akrab dikenal sebagai Ceu Popong, tokoh wanita dan anggota DPR, disebutkan, selama 20 tahun keluarga diliputi ketidakpastian atau keraguan akan keberadaan Unan.
“(dr Djoenjoenan Setiakusumah) kehilangan putranya, Kang Abdul Rachman, atau kalau di keluarga selalu disebut Unan,” kata Ceu Popong yang merupakan menantu dr Tahanan.
Dikisahkan, Abdul Rachman atau Unan bersekolah di Yogyakarta. Saat revolusi kemerdekaan, Unan menjadi tentara, bergabung dengan Tentara Pelajar dan menjadi komandan batalyon.
Di tengah-tengah revolusi, Unan berangkat dari Yogya membawa pasukan ke Surabaya. Pada 10 November 1945 pecah perang melawan Tentara Sekutu. Sejak saat itu, Unan tidak ada kabar.
Apakah gugur atau ditangkap tentara sekutu, sama sekali tidak ada penjelasan. "Jika gugur, di mana dimakamkannya. Jika ditangkap, di mana dipenjaranya. Tidak ada kabar sama sekali," ujar Ceu Popong.
Pada 1964, tutur Ceu Popong, saudara Ceu Popong, Nani menikah dengan anggota Marinir asal di Surabaya. Nani pun dibawa ke Surabaya. Sebelum berengkat ke Surabaya, Ceu Popong meminta tolong kepada suami Nani untuk menelusuri jejak Unan.
Akhirnya keluarga mendapatkan kabar di kompleks Taman Pemakaman Pahlawan 10 November Surabaya terdapat banyak makam pahlawan tak dikenal. Juru kunci makam pahlawan tersebut menyebutkan satu makam merupakan pejuang asal Bandung yang gugur pada 10 November 1945.
"Juru kunci makam pahlawan mengatakan, "kalau ini makam pejuang asal Bandung. Anak muda, ganteng. Katanya ayahnya jadi dokter di Bandung". Siapa lagi itu, pemuda ganteng, anak dokter di Bandung, kalau bukan Kang Unan," tutur Ceu Popong.
Akhirnya, keluarga dr Djoenjoenan datang ke Surabaya. Mereka yakin satu makam pahlawan tak dikenal di Kompleks Taman Makam Pahlawan 10 November Surabaya adalah makam Abdul Rachman Djoendjoenan atau Kang Unan yang hilang 20 tahun lalu. "Waktu makam Kang Unan ditemukan, papih (dr Djoendjonan) masih hidup," ucapnya.
Saat ziarah ke Taman Makam Pahlawan 10 November Surabaya, almarhum dr Djoenjoenan menyatakan, makam Abdul Rachman atau Unan tak akan dipindahkan ke Bandung.
Tujuannya untuk menunjukkan kepada generasi penerus bangsa bahwa ada orang Sunda yang gugur sebagai pahlawan dalam perang 10 November 1945 demi membela Tanah Air, Negara Indonesia.
"Biarkan makam Unan tetap di sini (Taman Makam Pahlawan 10 November Surabaya). Ini untuk menandakan dan menunjukkan bahwa dalam perang (10 November 1945) di Surabaya, ada orang Sunda yang gugur demi membela Tanah Air, Negara Indonesia," ujar Ceu Popong.
Ceu Popong mengatakan, dr Djoenjonan Setiakusumah memiliki enam anak, tiga putra dan tiga putri. Tiga putranya, Abdul Rachman, Abdul Askar, dan Abdul Ahmad. Tiga putra dr Djoenjoenan itu semuanya menjadi tentara pejuang.
Diketahui, nama dr Djoendjoenan diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Bandung. Jalan dr Djoendjoenan merupakan jalan yang menjadi pintu gerbang masuk ke Kota Bandung dari wilayah barat.
Dr Djoendjoenan merupakan tokoh pemuda yang cukup dikenal pada masa penjajahan Belanda sebagai satu dari beberapa pendiri Paguyuban Pasundan. Saat aktif di Paguyuban Pasundan, dr Djoendjoenan masih menempuh pendidikan kedokteran di Batavia (sekarang Jakarta).
Editor: Agus Warsudi