Sidang Perusakan Bangunan di Surya Sumantri Bandung, Saksi Sebut Terdakwa Salahi Aturan
BANDUNG, iNews.id - Sidang kasus perusakan bangunan di Jalan Surya Sumantri dengan terdakwa Hendrew Sastra Husnandar kembali digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Jalan RE Martadinata, Selasa (7/1/2023). Dalam persidangan, saksi yang dihadirkan menyebut bangunan milik terdakwa menyalahi aturan.
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Ketua Majelis Hakim Dalyusra itu menghadirkan tujuh orang saksi. Tiga saksi di antaranya dari Dinas Cipta Karya, Bina Konstruksi dan Tata Ruang (Cipta Bintar), Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dan eks pemilik lahan yang kini berdiri bangunan diduga tidak berizin.
Saksi Zakaria dari Dinas Cipta Bintar Kota Bandung mengatakan, bangunan milik terdakwa Hendrew Satra Husnandar yang memicu terjadinya perkara ini melanggar aturan.
Bangunan yang kini digunakan sebagai rumah makan tersebut berdiri di atas Garis Sepadan Bangunan (GSB). Sesuai aturan yang berlaku, yakni Perda RTRW No 14, di lokasi itu tak boleh berdiri bangunan.
"Bangunan yang berdiri itu posisinya ada di GSB. Secara aturan memang tidak diperbolehkan menurut Perda Nomor 14," kata Zakaria.
Dia menyatakan, bangunan milik Hendrew tersebut menyalani aturan tata ruang Kota Bandung. "Jadi sesuai ketentuan memang tidak boleh dibangun. GSB itu lebarnya 10 meter," ujar Zakaria.
Zakaria menuturkan, Dinas Cipta Bintar Kota Bandung telah melakukan upaya ketika mengetahui ada bangunan menyalahi aturan. Dinas telah telah dua kali memanggil terdakwa hingga berujung penyegelan.
Namun, segel itu kemudian dibuka kembali. Sayangnya, Zakaria tidak bisa menjelaskan alasan segel itu dibuka. Petugas Dinas Cipta Bintar Bandung kembali mengecek lokasi setelah terjadi kasus perusakan.
Kasus perusakan itu sendiri diduga dilakukan Hendrew, terhadap dinding yang mengelilingi tanah milik Norman Miguna. Perusakan diduga dilakukan untuk memuluskan upaya Hendrew membuat pilar menopang bangunan yang kini dijadikan rumah makan.
Sementara itu, saksi lain, Hidayat mengatakan, dirinya merupakan eks pemilik lahan yang kemudian dijualnya ke Hendrew.
Hidayat menyadari lahan yang dijualnya itu memang merupakan masuk GSB. Hidayat membeli lahan pada 1999 dari seseorang bernama Didi dan sudah bersertifikat.
Hidayat menyebut luas lahan mencapai 188 meter persegi. "Saya tahu itu GSB tapi tetap saya beli," kata Hidayat.
Mengetahui di belakang lahan yang dibelinya ada lahan milik Norman Miguna, Hidayat pun berusaha untuk bernegosiasi. "Saya negosiasi dengan pak Norman untuk win win solution mencari kesepakatan. Tapi pa Norman tidak mau. Akhirnya tanah itu saya jual ke Hendrew," ujar Hidayat.
Sebelumnya, kuasa hukum Norman Miguna, Tomson Pandjaitan menegaskan, terdakwa Hendrew main klaim atas tanah yang sekarang di atasnya berdiri bangunan rumah makan.
Tomson Pandjaitan mengatakan, kliennya memiliki lahan sejak 1978 dan telah bersertifikat hak milik. Namun, 21 tahun kemudian tiba-tiba muncul orang yang mengklaim memiliki lahan seluas lebih dari 100 meter per segi atas nama Hidayat.
"Jadi ini tiba-tiba terbit sertifikat di atas sertifikat. Padahal itu jelas lahan milik klien saya, pak Norman. Nah, oleh Hidayat ini kemudian dijual ke terdakwa Hendrew," kata Tomson Padjaitan.
Dari situlah awal mula permasalahan muncul. Tomson pun menyebut Hendrew menguasai lahan bukan berdasarkan sertifikat hak milik, hanya sebatas PPJB.
Hendrew membeli lahan itu dari Hidayat diduga dengan maksud menutup lahan milik Norman sehingga berharap Norman menjualnya.
"Jadi fakta persidangan tadi juga sudah disampaikan dan diakui kalau dia cuma PPJB bukan sertifikat. Jelas itu lahan milik klien saya. Yang digunakan Hendrew mendirikan bangunan justru itu merupakan GSB dan tidak boleh didirikan bangunan," ujar Tomson.
Editor: Agus Warsudi