Perbedaan Qurban dan Aqiqah: Waktu Pelaksanaan, Tujuan, hingga Dasar Hukumnya

JAKARTA, iNews.id - Perbedaan qurban dan aqiqah dalam Islam penting untuk diketahui setiap Muslim. Pasalnya, qurban dan aqiqah memiliki kemiripan lantaran sama-sama terkait penyembelihan hewan.
Baik qurban maupun aqiqah, sama-sama memiliki hukum sunnah muakkad. Qurban dan aqiqah juga merupakan ritus yang sama-sama mengharuskan umat Muslim untuk menyembelih hewan ternak sesuai dengan syariat islam.
Kendati demikian, ada perbedaaan mendasar antara dua ibadah tersebut baik secara hukum, tata cara, maupun waktu pelaksanaannya.
Qurban tidak terbatas pada penyembelihan kambing saja melainkan bisa juga dengan unta, sapi, atau bahkan kerbau. Sedangkan aqiqah diukur dari jumlah penyembelihan kambing atau domba saja.
Lantas, apa saja perbedaan kedua ibadah suci tersebut? Berikut ini adalah beberapa perbedaan qurban dan aqiqah yang dirangkum iNews.id, Sabtu (13/5/2023).
Kurban dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah atau Hari Raya Idul Adha setelah shalat id sampai dengan matahari terbenam di tanggal 13 Dzulhijjah. Sementara, aqiqah dilaksanakan setelah bayi baru lahir dan disunnahkan dilakukan setelah 7 hari kelahiran.
Namun apabila berhalangan karena satu dan lain hal, aqiqah dapat dilaksanakan pada hari ke-14 atau hari ke-21. Selain itu, jika seseorang tersebut berada dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, maka aqiqah bisa menjadi tidak wajib.
Perbedaan berikutnya terletak pada niat atau tujuan pelaksanaan. Aqiqah bisa dikatakan bertujuan untuk mengeluarkan zakat atas kelahiran anak. Aqiqah dikerjakan sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak.
Sedangkan niat pelaksanaan qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memenuhi kewajiban sebagai umat Islam. Selain itu, qurban juga dilakukan sebagai bentuk pengorbanan dan ibadah di hari raya Idul Adha.
Pada pelaksanaan qurban, dianjurkan untuk menyembelih unta, sapi, kambing, atau kerbau dan boleh diniatkan bersama. Sedangkan untuk aqiqah, diharuskan menyembelih sedikitnya 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor jika bayinya perempuan.
Baik qurban maupun aqiqah tentu saja memiliki dasar hukum masing-masing. Untuk qurban, sebagian berpendapat bahwa hukum ibadah tersebut adalah wajib.
Di antara dalil yang dijadikan penguat adalah firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2).
Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.
Yang menunjukkan wajibnya pula adalah hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Kendati demikian, mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkad atau sunnah yang sangat dianjurkan. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, hingga Maliki.
Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah).
Aqiqah pada dasarnya merupakan suatu amalan yang disyariatkan oleh kebanyakan ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, para fuqaha tabi’in, dan para ulama masyhur yang lain. Dalil pensyariatan aqiqah adalah sebagai berikut.
Yang pertama adalah hadits Salman bin ‘Amir.
عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »
“Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelihlah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya.” (HR. Bukhari no. 5472)
Sementara yang kedua adalah hadits Samurah bin Jundub.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Editor: Komaruddin Bagja