get app
inews
Aa Text
Read Next : Jokowi dan Xi Jinping Saksikan Uji Dinamis Kereta Cepat Jakarta-Bandung Besok

Penyebab Terjadi Peristiwa Bandung Lautan Api, Rakyat Tak Mau Dijajah Lagi

Selasa, 15 November 2022 - 12:35:00 WIB
Penyebab Terjadi Peristiwa Bandung Lautan Api, Rakyat Tak Mau Dijajah Lagi
Tugu Bandung Lautan Api di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. (FOTO: iNews/JUHPITA MEILANA)

BANDUNG, iNews.id - Setiap 23 Maret, warga Kota Bandung menggelar peringatan peristiwa bersejarah Bandung Lautan Api (BLA). Pada 23 Maret 1946, terjadi peristiwa Kota Bandung menjadi lautan api karena rakyat membakar rumah-rumah mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Berdasarkan catatan sejarah dari berbagai sumber, istilah Bandung Lautan Api muncul setelah peristiwa itu ditulis wartawan Atje Bastaman. Tulisan Atje Bastaman terbit di Harian Suara Merdeka pada 26 Maret 1946. 

Saat itu, dari atas Bukit Leutik di sekitar Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Ace Bastaman menyaksikan pemandangan api berkobar, membakar Kota Bandung. Peristiwa ini juga mengilhami ismail marzuki untuk membuat lagu Halo Halo Bandung.

Peristiwa Bandung Lautan Api tidak terjadi begitu saja. Dalam catatan sejarah, peristiwa ini telah dirancang oleh Panglima Divisi III TRI Kolonel Abdoel Haris (AH) Nasoetion.

Pertimbangan TNI kala itu, Sekutu dan NICA, tentara Belanda yang telah mendarat di Tanjung Priok, akan menyerbu Kota Bandung. Mereka berniat mendudukkan kembali Belanda di Bandung. 

Menyikapi rencana itu, para pejuang, baik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun laskar-laskar pemuda, bertekad melakukan perlawanan. Perang gerilya pun dilakukan oleh para pejuang.

Brigade McDonal Masuk Bandung

Pada 12 Oktober 1945, tentara Sekutu, termasuk NICA Belanda, di bawah Brigade McDonald, masuk Kota Bandung. Saat itu, tentara Sekutu memerintahkan seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi, diserahkan tanpa syarat.

Situasi Kota Bandung memanas. Para tentara Belanda yang baru bebas dari kamp tahanan Jepang, berulah. Mereka melakukan penjarahan. Akibatnya, bentrokan antara tentara Sekutu dengan TRI dan para pejuang tidak dapat dihindarkan.

Malam 24 November 1945, TRI dan badan–badan perjuangan lain melancarkan serangan terhadap markas–markas Sekutu di Kota Bandung, termasuk Hotel Homan dan Preanger yang menjadi markas besar Sekutu.

Pada 27 November 1945 atau tiga hari setelah penyerangan markas Sekutu, MacDonald menyampaikan ultimatum agar rakyat dan para pejuang segera mengosongkan wilayah Bandung Utara selambat–lambatnya pada 29 November 1945 pukul 12.00 WIB.

Tugu Bandung Lautan Api di Taman Tegallega, Kota Bandung. (Foto: bandung.go.id).
Tugu Bandung Lautan Api di Taman Tegallega, Kota Bandung. (Foto: bandung.go.id).

Sekutu membagi Kota Bandung menjadi utara dan selatan. Utara menjadi wilayah kekuasaan mereka, sedangkan selatan milik pemerintah Republik Indonesia. Para pejuang menjawab ultimatum itu dengan mendirikan pos-pos gerilya di berbagai tempat.

Selama Desember 1945, terjadi beberapa pertempuran di berbagai tempat antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasirkaliki dan Viaduct. Di Viaduct, Sekutu berusaha merebut Balai Besar Kereta Api, tapi gagal. 

Sekutu terlibat dalam pertempuran dengan pejuang Indonesia di pusat kota, kawasan Lengkong Besar. Memasuki awal 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis di beberapa titik di Kota Bandung.

Selama pertempuran berlangsung, banyak serdadu India dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Serdadu India yang membelot adalah Kapten Mirza dan pasukannya.

Mereka memutuskan bergabung dengan para pejuang saat terjadi pertempuran di Jalan Fokker (sekarang Jalan Garuda, Kecamatan Andir) pada pertengahan Maret 1946. 

Panglima Divisi III Jenderal AH Nasution terus melancarkan serangan dan menolak bertemu dengan Sekutu. Serangan-serangan sporadis pejuang Indonesia dan kegagalan mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu terdesak. 

Kemudian, Sekutu melakukan pendekatan terhadap petinggi pemerintahan RI. Pada 23 Maret 1946, Sekutu kembali menyampaikan ultimatum agar pejuang meninggalkan Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946 pukul 00.00 WIB. 

Perdana Menteri Sutan Syahrir lantas menugaskan Syafruddin Prawiranegara dan Mayor Jenderal (Mayjen) Didi Kartasasmita datang ke Bandung. Namun Kolonel AH Nasution tetap menolak ultimatum Sekutu.

Sebab, sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. Syafruddin Prawiranegara dan Mayjen Didi Kartasasmita menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas Ultimatum diperpanjang. 

Di sisi lain, Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi tentang ultimatum penarikan pasukan pejuang dari utara Bandung. Pada 22 Maret 1946 sore, AH Nasution ikut ke Jakarta bersama Syafruddin dan Mayjen Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana Menteri Syahrir.

Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari kehancuran, Syahrir mendesak AH Nasution memenuhi ultimatum Sekutu. Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan Sekutu. 

Bumi Hangus Bandung

Akhirnya setelah kembali ke Bandung, AH Nasution menggelar musyawarah dengan Madjelis Persatuan Perjuangan Priangan (MPPP) di Regentsweg, saat ini Jalan Dewi Sartika, memutuskan membumihanguskan Bandung sebelum meninggalkan kota. 

Rencananya, bumi hangus akan dilaksanakan pada 24 Maret pukul 00.00 WIB. Namun ternyata, bumi hangus dilaksanakan lebih awal, yakni, 23 Maret 1945 pukul 21.00 WIB. 

Gedung pertama yang diledakkan dan dibakar adalah Bank Rakyat. Disusul pembakaran di kawasan Banceuy, Cicadas, Braga, dan Tegalega. Anggota TRI pun membakar asrama-asrama mereka. 

Bukan hanya tentara dan para pejuang, sekitar 200 000 penduduk Kota Bandung juga serentak membakar rumah dan meninggalkan kota. Mereka mengungsi ke pegunungan di wilayah Bandung selatan. Pada malam 24 Maret 1946, pasukan bersenjata dan para pejuang meninggalkan Kota Bandung yang terbakar. 

Peristiwa itu wujud pengorbanan rakyat dalam upaya mengusir penjajah Belanda. Rakyat rela membakar rumah untuk mencegah tentara sekutu dan tentara NICA Belanda kembali menguasai Kota Bandung sebagai markas militer.

Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Tugu Perjuangan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung dan Tegallega, Kota Bandung. 

Selama perang mempertahankan kemerdekaan, pertempuran paling besar pecah di Desa/Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, yang berada di selatan Kota Bandung. Di lokasi tersebut terdapat gudang amunisi besar milik tentara sekutu.

Dalam pertempuran itu, Mohamad Toha dan Muhamad Ramdhan, dua anggota milisi Barisan Rakyat Indonesia (BRI), gagah berani menghancurkan gudang amunisi tersebut. Mohamad Toha dan Muhammad Ramdhan gugur saat meledakkan gudang dengan dinamit.

"Untuk mengenang peristiwa tersebut di lokasi bekas gudang amunisi dibangun tugu perjuangan. Selain itu lubang bekas ledakan kini menjadi kolam besar," kata Muhamad Edi, ketua RT setempat. 

Tugu Bandung Lautan Api di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. (FOTO: iNews/JUHPITA MEILANA)
Tugu Bandung Lautan Api di Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. (FOTO: iNews/JUHPITA MEILANA)

Di tugu tersebut, selain terdapat patung Mohamad Toha dan Mohamad Ramdhan, juga tertera nama-nama para pahlawan yang gugur saat pertempuran meletus di Dayeuhkolot.

Selain tugu, Mohamad Toha dan Mohamad Ramdhan juga diabadikan sebagai nama jalan. Jalan Mohamad Toha membentang sepanjang sekitar empat kilometer dari Dayeuhkolot sampai Kota Bandung.

Sedangkan Jalan Mohamad Ramdhan membentang sepanjang 1,5 km dari Tugu Ikan Gurame hingga perempatan Jalan Pungkur-Karapitan atau Pasar Ancol.

Editor: Agus Warsudi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut