Jejak Kerajaan Saung Agung di Wanayasa, Penentang Persetujuan Prabu Surawisesa dan Portugis
Bangunan tujuh lumbung padi yang berjejer, mengingatkan kita kepada ungkapan cerita pantun “tujuh leuit nu ngabandung” (tujuh lumbung padi yang berdampingan). Namun jika mencermati upacara adatnya yang disebut “Hajat Mulud” tampak sekali pengaruh Cirebon. Antara lain dengan dilaksanakannya upacara membersihkan benda-benda pusaka seperti halnya “Nyangku” di Panjalu dan “Panjang Jimat” di Cirebon.
Pada kesempatan tersebut ditampilkan kesenian terebangan, dengan melantunkan lagu-lagu buhun bberbahasa Sunda. Acara terebangan dilaksanakan siang hari untuk mengiringi kaum perempuan yang sedang membuat ketupat Mulud. Perempuan yang diperbolehkan terlibat
dalam pembuatan ketupat Mulud tersebut adalah perempuan yang sudah tidak mengalami haid lagi (menopause).
Kemudian malamnya dilanjutkan dengan acara “ngabungbang”, yakni begadang semalam suntuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan keadaan “nagara”. Acara tersebut, selain dihadiri oleh masyarakat adat setempat, juga dihadiri oleh beberapa perwakilan masyarakat dari daerah lain, yang secara turun-temurun menjadi pendukung acara “Hajat Mulud”.
Editor: Asep Supiandi