Harga Cabai Mahal tetapi Petani di Lembang KBB Tidak Untung, Ini Penyebabnya
BANDUNG BARAT, iNews.id - Harga cabai di pasaran yang melambung tinggi sampai Rp130.000 per kilogram (kg) ternyata tidak serta merta membuat petani meraup untung besar. Sebab, mereka menghadapi berbagai persoalan, salah satunya serangan hama patek.
Faktor utama adalah soal serangan hama yang sekarang merajalela. Belum lagi kondisi cuaca yang tidak menentu sehingga banyak hasil panen membusuk. Selain itu, mereka juga melakukan upaya pengamanan ekstra agar cabai siap panen tidak dicuri orang.
"Mahalnya harga cabai tidak selalu menguntungkan buat petani. Sekarang ini lagi banyak kendala. Beda kalau hasil panen bagus dan tidak terserang hama, keuntungan yang diperoleh petani bisa berlipat ganda," kata petani cabai di Kampung Cibodas Manoko, Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, KBB, Wawang (36), Sabtu (16/7/2022).
Wawang menyatakan, saat ini serangan hama sedang terjadi. Hama patek itu menyerang hampir seluruh tanaman cabai dari ranting, daun, hingga cabainya sehingga membuat tanaman rusak dan membusuk. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi hama dengan menyemprotkan pestisida.
Namun upaya itu tidak membuahkan hasil, sehingga percuma jika harga mahal kalau tamanan yang terserang hama banyak. Itu dikarenakan tidak sebanding dengan ongkos perawatan seperti membeli pestisida. Termasuk upah buruh karena tanaman perlu rutin dirawat agar hamanya tidak menyebar ke tanaman lainnya.
"Serangan hamanya parah, langsung tembus ke akar. Sudah dicoba dengan perawatan ekstra dan disemprot pestisida, tapi tetap saja hamanya sulit dibasmi," ujarnya.
Imbasnya produksi cabai juga terus merosot sehingga berpengaruh terhadap volume penjualan ke pasar. Selain itu petani juga diresahkan ancaman pencurian tamanannya. Pencuri bukan hanya mengincar cabai siap panen, buah yang terserang patek juga rawan dicuri karena laku dijual.
"Di sini termasuk rawan pencurian karena kan lahan perkebunannya luas. Apalagi sekarang harga cabai rawit masih tinggi, jadi banyak yang nyari," tutur Wawang.
Editor: Agus Warsudi