Bukan Senapan, Ini Karomah Kiai Abbas Buntet saat Pimpin Perang 10 November
                
            
                JAKARTA, iNews.id - Peristiwa perang 10 November 1945 di Surabaya yang diperingati sebagai Hari Pahlawan tidak lepas dari sosok Kiai Abbas Buntet, Cirebon.
Dengan karomah yang dimilikinya, KH Abbas bin Abdul Jamil mampu membuat pasukan Belanda dan sekutunya kocar-kacir.
                                    Kiai Abbas menjadi tokoh sentral dalam pertempuran itu karena didapuk langsung oleh Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari untuk menjadi komandan perang.
Bukan hanya menjadi komandan perang, Kiai Abbas juga yang menentukan hari, tanggal dan waktu dimulainya peperangan.
                                    Meski KH Hasyim Asy’ari memegang penuh otoritas dan komando perjuangan, tetapi Kiai Hasyim Asy’ari tidak mau buru-buru meletupkan perang. Bala tentara rakyat waktu itu diminta Kiai Hasyim menahan diri sampai hadir ‘Macan dari Cirebon’.
Siapa “Macan dari Cirebon’? Sosok yang dimaksud adalah Kiai Abbas, pemimpin pesantren tua yang berdiri sejak abad 17. Kiai Abbas adalah ulama yang tidak hanya dikenal dengan keluasan pengetahuan agamanya, tetapi juga dikenal memiliki ilmu kanuragan/bela diri tingkat tinggi dan ilmu supranatural yang mumpuni. Kiai Abbas juga terlibat dalam penyusunan Resolusi Jihad.
                                    Sesampainya di Surabaya, Kiai Abbas memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa.
Setelah meminum air yang telah diberi doa, para pemuda dan rakyat tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang.
Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara Belanda menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun banyak juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing.
Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa.
Kiai Abbas menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda.
Editor: Kastolani Marzuki