Bebeletokan, Senapan Angin Mainan Anak Tradisional tapi Asyik
BANDUNG, iNews.id - Di Indonesia, terdapat berbagai macam permainan anak tradisional. Hampir semua daerah memiliki permainan anak yang khas.
Tetapi, dari sekian banyak permainan anak di masing-masing daerah itu, terdapat kemiripan atau bahkan bisa dikatakan sama. Hanya penyebutannya saja yang berbeda.
Misalnya, di masyarakat Sunda disebut jajangkung. Di Jawa atau daerah lain disebut egrang. Kemudian, permainan anak Sunda bebeletokan, di daerah lain disebut peletokan, tor cetoran, dan lain-lain. Tetapi bentuk dan cara memainkannya pun sama.
Kaulinan barudak atau permainan anak-anak tradisional di Tatar Sunda mulai ditinggalkan. Hanya sedikit anak yang masih memainkannya. Itu pun hanya dilakukan oleh komunitas dan acara-acara tertentu. Di Bandung eksis sebuah komunitas yang berusaha menghidupkan kembali kaulinan barudak tempo doeloe itu.
Komunitas itu bernama Hong. Para pegiat komunitas ini menyediakan alat dan mengajarkan teknik permainan serta aturannya. Komunitas Hong terbentuk sejak 2003. Namun komunitas ini telah melakukan penelitian sejak 1996.
Aktivitas Komunitas Hong berawal dari keresahan semakin tergerusnya permainan anak tradisional oleh mainan modern, seperti Play Station dan Nintendo.
Apalagi sekarang, pemainan modern bisa dimainkan menggunakan gadget, seperti handphone, tablet, dan laptop. Akibatnya, anak-anak tercabut dari akar sosial mereka.
Anak-anak yang telah "tenggelam" dalam permainan modern memiliki sifat yang cenderung lebih egois dibanding generasi era 1980-90-an. Anak-anak sekarang asyik dengan dunianya sendiri dan tidak terasah dalam bersosialisasi.
Karena itu lah, komunitas Hong berusaha menghidupkan dan memasyarakatkan kembali permainan anak tradisional. Berdasarkan penelitian, permainan anak tradisional selain memiliki nilai filosofi dalam, juga mengajarkan tentang kemandirian, empati, simpati, dan mengasah soft dan life skill. Selain itu, membentuk karakter positif anak.
Sebab, sebagian besar permainan tradisional dimainkan secara bersama-sama. Tak ada permainan tradisional yang dimainkan sendiri. Tidak asyik jika permainan tradisional dimainkan seorang diri. Contohnya bebeletokan. Mainan ini akan lebih asyik dimainkan bersama teman-teman.
Tidak ada yang tahu sejak kapan mainan bebeletokan muncul dan dimainkan anak-anak. Yang pasti, di semua daerah sama, bebeletokan terbuat dari dua bilah bambu.
Di Bandung, mainan anak jadul bebeletokan, mulai ditinggalkan. Namun setidaknya hingga 2010, bebeletokan masih dimainkan oleh sebagian kecil anak di kampung-kampung.
Bagian pertama, bambu bulat dengan panjang sekitar 50 sentimeter (cm). Bambu yang dipilih umumnya dari jenis bambu hijau dengan bentuk lurus. Sebab jika bengkok, tidak bisa dipakai untuk membuat bebeletokan. Bambu hijau lurus itu digunakan sebagai laras.
Kemudian, terdapat pelatuk yang juga terbuat dari bambu. Tetapi untuk pelatuk, bisa terbuat dari apa saja asalkan lurus. Pelatuk ini berfungsi mendorong peluru yang diletakkan dipangkal. Karena tekanan udara, peluru yang berada di ujung laras akan terlontar keluar.
Mekanisme bebeletokan mirip senapan angin karena memang memanfaatkan tekanan angin di dalam tabung laras. Cara memainkannya, bagian pangkal dan ujung laras diisi peluru.
Peluru bebelokan bisa menggunakan buah takokak dan kertas yang direndam air. Setelah kedua ujung laras diisi peluru, pelatuk mendorong peluru di pangkal laras itu ke depan.
Tekanan udara di dalam laras membuat peluru di ujung terlontar. Seiring terlontarnya peluru, terdengar suara beletok. Karena itu, mainan jadul ini dinamai bebeletokan.
Anak-anak biasanya memainkan bebeletokan secara berkelompok. Tidak hanya saat memainkan, dalam proses mencari bambu dan membuatnya pun berkelompok. Merekan membuat mainan itu bersama-sama.
Setelah jadi, anak-anak membentuk dua kelompok yang diskenariokan sebagai pasukan penjajah Belanda dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka berpencar dan mencari tempat berlindung.
Keseruan akan tercipta saat mereka menembakkan peluru dari bebeletokan. Walaupun tidak sakit atau melukai, tetapi peluru bebeletokan tetap membuat anak yang terkena merasakan sedikit perih.
Seusai bermain bebeletokan, anak-anak tertawa gembira. Mereka pulang ke rumah masing-masing untuk mandi dan berangkat mengaji di musala.
Editor: Agus Warsudi