get app
inews
Aa Text
Read Next : Kenapa Nama Kota di Jawa Barat Berawalan Ci? Ternyata terkait Bangsa Matahari

Alasan Kenapa Orang Sunda Dilarang Menikah Sama Orang Jawa, Diawali Perang Bubat

Senin, 07 November 2022 - 12:56:00 WIB
Alasan Kenapa Orang Sunda Dilarang Menikah Sama Orang Jawa, Diawali Perang Bubat
Alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang jawa terkait tragedi masa lalu. (Foto: Ilustrasi)

BANDUNG, iNews.id - Kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa? Merupakan pertanyaan yang kerap mengemuka atas pantangan orang Sunda yang sempat dipegang teguh secara turun-temurun dan berabad-abad. 

Tentu tidak ada asap kalau tak ada api, pepatah ini menjadi pintu masuk untuk menguak alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa atau sebaliknya. 

Pantangan itu berawal dari sebuah peristiwa besar yang terjadi di sekitar abad ke 14, yakni Perang Bubat. Perang tak seimbang antara Kerajaan Sunda dengan Majapahit. Perang tersebut dirasa sangat menyakitkan dan membekas bagi orang Sunda selama berabad-abad. Munculah mitos jika orang Sunda tetap menikah dengan orang Jawa, maka tidak akan langgeng.

Lalu, seperti apakah Perang Bubat itu? Berikut Perang Bubat versi Sunda sehingga menjadi alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa yang dirangkum dari berbagai sumber.  

1. Pinangan  

Perang Bubat berawal dari rencana perkawinan politik antara Raja Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri raja Sunda, Prabu Linggabuana.

Hayam Wuruk, raja Majapahit memutuskan untuk mengambil putri Citra Rashmi (juga dikenal sebagai Pitaloka) sebagai istrinya. Dia adalah putri Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa dari Kerajaan Sunda. Tradisi menggambarkannya sebagai gadis dengan kecantikan luar biasa. 

Patih Madhu, seorang mak comblang dari Majapahit diutus ke kerajaan untuk meminangnya. Senang dengan lamaran dan melihat kesempatan untuk membina aliansi dengan Majapahit, kerajaan terkuat di wilayah itu, Raja Sunda memberikan restunya dan memutuskan untuk menemani putrinya ke Majapahit untuk pernikahan.

Pada tahun 1357 Raja Sunda dan keluarga kerajaan tiba di Majapahit setelah berlayar melintasi Laut Jawa dengan armada 200 kapal besar dan 2000 kapal kecil. Keluarga kerajaan menaiki kapal jung (bahasa Jawa: Jong sasanga wangunan) dengan sembilan lantai dan mendarat di pelabuhan Hujung Galuh, berlayar ke daratan melalui Sungai Brantas dan tiba di pelabuhan Sungai Canggu. Rombongan kerajaan kemudian berkemah di Alun-Alun Bubat di bagian utara Trowulan, Ibu Kota Majapahit, dan menunggu upacara pernikahan.

2. Pengepungan

Gajah Mada, perdana menteri Majapahit melihat acara tersebut sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke kerajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa alih-alih menjadi Ratu permaisuri dari Majapahit, sang putri harus ditampilkan sebagai tanda penyerahan dan diperlakukan sebagai selir Raja Majapahit belaka. Raja Sunda marah dan terhina oleh permintaan Gajah Mada, dan memutuskan untuk pulang serta membatalkan pernikahan kerajaan. Namun, Majapahit menuntut tangan putri Sunda, dan mengepung perkemahan Sunda.

Akibatnya, terjadi pertempuran kecil di alun-alun Bubat antara tentara Majapahit dan keluarga kerajaan Sunda untuk mempertahankan kehormatan mereka. Itu tidak seimbang dan tidak seimbang karena pesta Sunda sebagian besar terdiri dari keluarga kerajaan, pejabat negara, dan bangsawan, disertai oleh pelayan dan pengawal kerajaan. 

Jumlah rombongan Sunda diperkirakan kurang dari seratus orang. Di sisi lain, penjaga bersenjata yang ditempatkan di Ibu Kota Majapahit di bawah komando Gajah Mada diperkirakan berjumlah beberapa ribu pasukan bersenjata dan terlatih. Rombongan Sunda dikepung di tengah Alun-Alun Bubat. 

Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang Sunda berhasil mempertahankan alun-alun dan menyerang balik pengepungan Majapahit beberapa kali. Namun, seiring berjalannya hari, orang Sunda kelelahan dan kewalahan. Meski menghadapi kematian tertentu, orang Sunda menunjukkan keberanian dan kesatria yang luar biasa satu per satu, semuanya jatuh.

3. Raja Sunda Tewas dan Ritual Bunuh Diri

Raja Sunda tewas dalam duel dengan seorang jenderal Majapahit serta bangsawan Sunda lainnya dengan hampir semua pihak kerajaan Sunda dibantai dalam tragedi itu. Tradisi mengatakan bahwa putri yang patah hati bersama dengan semua wanita Sunda yang tersisa. Mereka mengambil nyawanya sendiri untuk membela kehormatan dan martabat negaranya.

Ritual bunuh diri oleh para wanita dari kelas kshatriya (prajurit) setelah kekalahan kaum laki-laki mereka, seharusnya untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka serta untuk melindungi kesucian mereka, daripada menghadapi kemungkinan penghinaan melalui pemerkosaan, penaklukan, atau perbudakan.

Apakah benar atau Entah benar atau tidak, setelah peristiwa itu, karir Gajah Mada terus merosot hingga akhir hayatnya pada 1364. Demikian pula dengan Kerajaan Majapahit yang terus mengalami kemunduran, ditambah dengan meninggalnya Hayam Wuruk pada 1389.

Peristiwa itulah menjadi alasan kenapa orang Sunda dilarang menikah sama orang Jawa. Meski hanya sekadar mitos, namun masih saja ada orang yang mempercayainya, tetapi tidak sedikit pula yang sudah menikah dan hidup langgeng.

4. Rekonsiliasi

Pada 6 Maret 2018 tiga gubernur, yaitu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, berkumpul untuk melakukan rekonsiliasi. Hasil konkret dari rekonsiliasi tersebut akan ada nama-nama jalan berbau Majapahit di Tanah Pasundan, begitu juga akan nama-nama berbau Pasundan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 
Aher dalam pertemuan tersebut meminta semua pihak menghilangkan dendam sejarah. “Berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan,” kata Aher. 

Pesan yang hampir sama juga Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengatakan bpenting mengetahui sejarah dan menghilangkan sekat-sekat kesalahpahaman yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap etnik yang ada menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri. 

Menurut dia, rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antarmanusia yang sebelumnya mengalami kecelakaan sejarah. 

Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan ini merupakan langkah berani dan layak ditempuh semua elemen bangsa karena keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.

Editor: Asep Supiandi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut