2 Ulama Besar Abad ke-19 Dimakamkan di Pasir Mantri Wanayasa Purwakarta, Ini Figurnya
PURWAKARTA, iNews.id - Bagi masyarakat Purwakarta tentu tidak asing dengan Pasir Mantri, sebuah penclut (bukit kecil) yang terdapat di tengah Situ Wanayasa, Kecamatan Wanayasa. Di penclut tersebut terdapat area permakaman yang mungkin sebagian orang belum mengetahui siapa yang dimakamkan di lokasi tersebut.
Acapkali terlihat banyak peziarah mendatangi Pasir Mantri dari berbagai wilayah. Sehingga di lokasi itu kuat dugaan adanya petilasan atau makam tokoh besar.
Berdasarkan keterangan yang berhasil dihimpun, ternyata di sana terdapat makam dua ulama besar, bernama Kiai Agung dan Kiai Gede.
Berdasarkan cerita rakyat setempat yang dikemukakan budayawan Purwakarta, Budi Rahayu Tamsyah, Kiai Agung adalah ulama yang kali pertama membangun pesantren di Wanayasa. Namun sampai sekarang belum diketahui jejak-jejak dari letak pesantrennya itu. Ada yang menduga terletak di sebelah timur Alun-alun Wanayasa, di antara susukan (parit) Cilimus dan Cigedong, sekitar RT 10 Dusun II Desa Wanayasa sekarang, di sebelah utara Jalan Raya Wanayasa. Namun dugaan tersebut harus dibuktikan lebih dahulu kebenarannya. Pasalnya, sampai saat ini, belum didapat bukti-bukti pendukung yang kuat.
Kiai Agung jelas merupakan nama julukan, karena beliau mempunyai ilmu agama yang tinggi. Nama aslinya adalah Kiai Warga Nala. Nama itu pun diduga bukan nama yang sebenarnya pula. Dalam Babad Wanayasa hanya disebutkan “Kyai Warega anu ngumbara” (Kiai Warega seorang pendatang). Nama Kyai Warga Nala terdapat dalam catatan R Moh Idris, yang disebutkannya pula berasal dari Tegal.
Diperkirakan dia datang ke Wanayasa sekitar abad ke-18. Pasalnya dalam Babad Wanayasa tercatat menikah dengan Nyai Raden Nata Imbang, putra ke-12 Dalem Suradikara II, Bupati Kabupaten Wanayasa. Dalem Suradikara II sendiri mempunyai 17 orang putra; 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan.
Belum didapat keterangan, kapan Kyai Agung meninggal dunia. Yang jelas, dia meninggal dunia di Wanayasa dan dimakamkan di Wanayasa. Makamnya berada di penclut keempat di tengah-tengah Situ Wanayasa dulu, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pasir Mantri. Sekarang hanya penclut itulah satu-satunya yang masih berada di tengah-tengah Situ Wanayasa, akibat dari penyempitan situ alam tersebut.
Penclut pertama sudah menyatu dengan perkampungan. Sedangkan penclut kedua dan ketiga sudah berada di tengah-tengah persawahan penduduk. Di Pasir Mantri memang terdapat banyak makam, antara 9 – 11 makam, karena beberapa di antaranya merupakan makam baru dan sebagian lagi sudah tak kelihatan bekas-bekasnya. Namun belum dapat dipastikan, mana yang sebenarnya makam kyai besar tersebut.
Dalam sebuah kesempatan, juru kunci makam Dalem Santri, Koko Komar, hanya menyebutkan, makam Kyai Agung berada di Pasir Mantri, tapi tidak dapat menunjukkan secara tepat letak makamnya. Hanya ada sedikit petunjuk, dulu makam Kyai Agung itu terletak di bawah pohon puspa. Masalahnya, dulu di sana terdapat empat atau tiga pohon puspa yang besar. Sekarang pohon puspa itu sudah tidak ada sejak sejak puluhan tahun lalu dan digantikan dengan pohon pinus.
Sementara itu, makam Kiai Gede juga terletak di Pasir Mantri. Berbeda dengan makam Kiai Agung, makam Kyai Gede dapat dikenali dan berada di tengah-tengah penclut Pasir Mantri. Bahkan kini makamnya sudah dipagari dengan pagar besi oleh keluarganya. Sedangkan makamnya sendiri masih dibiarkan seperti semula, yakni berupa tumpukan batu dengan nisan dari batu pula. Barangkali hal itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat setempat, bahwa makam leluhur Wanayasa “tidak mau” diperindah, apalagi sampai ditembok atau dilapisi marmer.
Tampaknya Pasir Mantri pada zaman dahulu dipergunakan sebagai lokasi pemakaman tokoh-tokoh agama seperti ulama. Kiai Gede tidak identik dengan Kiai Agung, walaupun “gede” sama artinya dengan “agung”. Mungkin penyebutan Kyai Gede untuk membedakannya dengan julukan Kyai Agung yang hidup sebelumnya. Kyai Gede merupakan ulama, yang dianggap mempunyai ilmu keagamaan yang tinggi sebagaimana Kiai Agung sebelumnya. Yang jelas, keduanya merupakan ulama besar di Wanayasa pada masanya serta keduanya dimakamkan di Pasir Mantri.
Kiai Gede adalah julukan. Nama aslinya adalah Raden Tisnadireja atau Mas Bagus Jalani. Menurut sumber-sumber di Wanayasa, Mas Bagus Jalani ini adalah putra Raden Tisnanagara, putra ketiga Bupati Kaliwungu V. Artinya, dia adalah cucu Bupati Kaliwungu V yang mempunyai garis keturunan langsung dari Kangjeng Gusti Pangeran Arya (KGPA) Juminah, salah seorang kerabat Sultan Agung Mataram.
Mengapa dia sampai di Wanayasa? Menurut budayawan Purwakarta, Budi Rahayu Tamsyah atau kerap disapa Kang Adud mengatakan, dalam catatan sisilah keluarganya disebutkan, Raden Tisnadireja atau Mas Bagus Jalani “menjaga Karaton Susuhunan yang sudah meninggal di Tegalarum dan terus diseru jaga Negeri Jakarta/Batawi. Itu R Tisnadireja jaga Betawi terus tinggal di Wanayasa”.
Jika kemudian Kiai Gede dikenal sebagai ulama di Wanayasa, tidaklah aneh, sebab Kaliwungu (di Kabupaten Kendal sekarang) dikenal sebagai Kota Santri. Di sana terdapat puluhan pesantren. Acara Syawalan di Kaliwungu, yang bertepatan dengan khaol ulama besar KH Asy’ad, misalnya, banyak didatangi orang dari berbagai daerah di tanah air.
Kiai Gede atau Mas Bagus Jalani mempunyai empat orang anak, yakni Bagus Asmadin, Bagus Ali Jamadin, Bagus Jamaludin, dan Bagus Ali Murtala. Orang Wanayasa banyak yang merupakan “rundayan” (keturunan) dari Kiai Gede ini.
Editor: Asep Supiandi