SUKABUMI, iNews.id - Kepala Desa Sudajaya Girang Edi Juarsah melayangkan surat ke Kantor Staf Presiden Republik Indonesia untuk meminta keadilan. Langkah ini dilakukan Edi seiring terbitnya sertifikat kepemilikan pribadi lapangan bola Selabintana, Desa Sudajaya Girang, Kecamatan/Kabupaten Sukabumi.
Edi Juarsah mengatakan, selama ini lapangan bola yang seluas 1 hektare tersebut merupakan fasilitas masyarakat untuk digunakan sebagai sarana olahraga dari PT Surya Petani yang mengeluarkan Surat Pelepasan Hak (SPH) dengan nomor O2/SPH/2015.
"Persoalan dulu di tahun 2014, kami menemukan sebuah berkas yaitu tentang surat pelepasan hak dari PT Surya Petani seluas 1 hektare. SPH-nya per tanggal 3 September 1993. Jelas di sana dikatakan bawah lahan yang diberikan oleh PT Surya Petani itu untuk sarana olahraga salah satunya lapang bola," kata Edi Juarsah.
Kades Sudajaya Girang menyatakan, saat itu lahan tersebut tidak pernah digunakan oleh masyarakat. Karena itu, Edi membuat surat permohonan ke PT Surya Petani pada Desember 2014 untuk meminta penjelasan alasan SPH tanggal 3 September itu tidak pernah diberikan ke masyarakat.
"Kami punya jawaban pasti dari PT Surya Petani tanggal 15 Januari 2015, bahwa lahan yang awalnya 1 hektar satu hamparan itu berdasarkan permohonan dari Pemda Kabupaten Sukabumi dialihkan jadi dua bidang, salah satunya tiga bidang di sebelah barat lapang bola ini dikhususkan untuk sarana upacara Kecamatan Sukabumi. Lalu yang 7.000 meter persegi itu diperuntukan untuk sarana olahraga," ujar Kades Sudajaya Girang.
Edi menuturkan, dalam perjalanannya, banyak pihak yang mengklaim tanah tersebut hak milik mereka. Salah satunya oleh pemegang sertifikat nomor 413 yang awalnya sertifikat tersebut atas nama Suryani Subrata.
Kemudian dijualbelikan atau ditransaksikan dengan pihak ketiga kepada warga Bogor bernama Tresno yang saat ini mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya.
"Yang jadi bingungnya, kenapa timbul sertifikat-sertifikat atas nama lahan ini. Sementara kita tahu sendiri ini awalnya tanah tersebut adalah tanah negara yang pengelolanya PT Surya Petani, dan SPH tanah tersebut diberikan kepada Pemerintah Desa Sudajaya Girang untuk sarana olahraga masyarakat dan untuk kepentingan umum," tuturnya.
Pemdes Sudajaya Girang, kata Edi Juarsah, telah berupaya untuk mengetahui silsilah terbitnya sertifikat tersebut dengan melakukan klarifikasi ke PT Surya Petani.
"Pihak mereka (PT Surya Petani) tidak pernah mengeluarkan surat pelepasan hak kepada individu tersebut. Saya tidak pernah tahu proses semacam apa ini bisa menjadi sertifikat," ucap Edi Juarsah.
Edi memberi contoh seperti salah satu pemegang sertifikat 413 yang mungkin konfirmasi ke BPN lalu memasang patok lahan tersebut dengan patok batas BPN. Masyarakat hanya tahu sudah dipatok tanpa ada penjelasan.
"Seharusnya komunikasikan dulu dengan pemerintah desa. Sebab apapun persoalannya, kami selaku pemerintah desa harus tahu ini wilayah hukum kami, ini wilayah teritorial kami," ujarnya.
Edi pihak Pemdes Sudajaya Girang juga sudah mengadukan masalah ini ke berbagai pihak seperti ke DPRD, Pemda, Bupati waktu itu yang dijabat oleh Sukmawijaya dan ke pihak BPN. Akan tetapi sampai hari ini pemerintah desa tidak punya pegangan yang pasti dan jawaban dari BPN dinilai normatif tidak jelas.
"Jawaban dari BPN bahwa sertifikat-sertifikat tersebut tercatat berdasarkan data yuridis dan data fisik yang ada di BPN. Tetapi kita tidak pernah tahu awalnya jadi sertifikat itu bagaimana, seharusnya keinginan saya, BPN bisa menjelaskan dari awal kenapa ini jadi sertifikat," tutur Edi.
Editor : Agus Warsudi
hibah tanah kasus penyerobotan tanah akta tanah aset tanah penyerobotan lahan Kabupaten Sukabumi
Artikel Terkait