Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menaiki tangga garbarata saat meninjau proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Majalengka, Jawa Barat, Senin (2/4/2018). Peninjauan tersebut dalam rangka memastikan kesiapan infrastruktur BIJB

TIDAK lama lagi, Provinsi Jawa Barat bakal punya bandar udara (bandara) baru. Namanya Bandara Internasional Kertajati, terletak di Kabupaten Majalengka. Lapangan terbang itu digadang-gadang bakal menjadi yang terbesar kedua setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten.

Awalnya, Bandara Kertajati dijadwalkan mulai beroperasi pada 2016. Akan tetapi, target tersebut tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah sehingga rencana pembukaan bandara itu ditunda menjadi 2017. Belakangan, jadwal itu dimundurkan lagi menjadi Juni 2018. Saat ini, pembangunan sejumlah fasilitas pendukung untuk bandara baru tersebut masih dalam tahap proses perampungan.

Pekan lalu, pemerintah telah melakukan uji coba penerbangan perdana di pelabuhan udara yang punya alias Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) itu. Hasilnya, uji coba dengan menggunakan pesawat kalibrasi jenis Beechcratf King Air B350-i milik Kementerian Perhubungan (Kemenhub) itu berjalan mulus.

Meski kini konstruksi utama Bandara Kertajati bisa dikatakan hampir 100 persen rampung, nyatanya masih ada persoalan yang belum juga dibereskan pemerintah. Masalah itu antara lain berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang terdampak oleh proyek pembangunan bandara tersebut.

Seperti diungkapkan Heri Susana Kalangi kepada iNews, belum lama ini. Petani Majalengka itu menilai pembangunan Bandara Kertajati hanya mendatangkan kesengsaraan bagi penduduk di desanya. Pasalnya, demi memuluskan megaproyek infrastruktur bernilai Rp25,4 triliun itu, pemerintah sampai hati menggusur masyarakat miskin secara paksa dari kampung halaman mereka. Sementara, di saat yang sama, belum ada kebijakan yang jelas dari pemerintah terkait kelangsungan hidup mereka di masa mendatang.

“Kami, mayoritas warga yang mendiami kampung ini, adalah petani. Tanpa tanah kami tidak akan bisa berproduksi,” tutur warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka itu.

Progres pembangunan sisi darat dan runway Bandara Udara Internasional Kertajati di Majalengka, Jawa Barat per 11 Januari 2018. (Foto: bijb.co.id)


Heri mengatakan, sejak wacana pembangunan Bandara Kertajati mulai digulirkan pada 2003, pemerintah belum pernah sekali pun mengajak masyarakat Desa Sukamulya berdialog. Anehnya, pemerintah kini malah menyuruh penduduk setempat membebaskan semua lahan yang mereka miliki dan kuasai secara turun-temurun untuk kepentingan proyek tersebut. Mereka dipaksa mengikuti kemauan penguasa tanpa diberi ruang untuk bernegosiasi.

“Harusnya pemerintah melakukan sosialisasi dulu, ajak kami berunding dulu. Jangan ujug-ujug ambil keputusan sepihak. Perlakukanlah kami ini layaknya warga negara! Apalagi tanah kami ini ada sertifikat hak miliknya, bukan tanah pemerintah,” ucap pria itu.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majalengka, jumlah penduduk Desa Sukamulya pada 2014 tercatat sebanyak 4.626 jiwa atau 1.231 kepala keluarga (KK). Sekitar 70 persen dari mereka menghidupi diri dengan bertani atau bercocok tanam. Adapun luas total desa itu mencapai 730,75 hektare. Sekira 97 persen di antaranya berupa lahan pertanian, sedangkan sisanya yang 3 persen lagi adalah kawasan permukiman.

Heri mengungkapkan, masyarakat Desa Sukamulya sebenarnya tidak menolak program pembangunan yang digagas pemerintah. Namun demikian, mereka hanya menginginkan keadilan ditegakkan. Kalaupun seluruh wilayah desa itu memang harus diratakan demi pembangunan Bandara Kertajati, penduduk meminta pemerintah memberikan lahan pengganti yang setimpal sehingga mereka bisa tetap bertani untuk menyambung hidup.

“Sebagai petani, kami jelas tidak punya kemampuan mengadakan tanah 700 hektare (untuk bertani). Yang bisa melakukan itu adalah pemerintah. Kami juga tidak mungkin beralih profesi karena tidak punya keahlian lain kecuali bertani. Karena itulah, sejak awal kami meminta pemerintah untuk merelokasi seluruh warga Desa Sukamulya, mengganti tanah pertanian kami dengan tanah juga. Bukan dengan uang,” katanya.

Sayangnya, aspirasi rakyat itu seakan-akan dianggap angin lalu saja oleh penguasa. Alih-alih mengajak masyarakat berunding dengan cara damai, pemerintah tampaknya lebih memilih pendekatan represif dalam menyelesaikan masalah pembebasan lahan di Desa Sukamulya. Sebagai bukti, desa itu setidaknya pernah dua kali didatangi ribuan aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP—yang berujung pada bentrokan dengan warga setempat. Kejadian pertama berlangsung pada 18 November 2014, sedangkan yang berikutnya terjadi pada 17 November 2016.

Progres pembangunan sisi darat dan runway Bandara Udara Internasional Kertajati di Majalengka, Jawa Barat per 11 Januari 2018. (Foto: bijb.co.id)


Intimidasi yang dilakukan aparat terhadap warga Desa Sukamulya pada 2016 lalu menuai kecaman dari kalangan pegiat HAM di Tanah Air. Di antaranya datang dari sejumlah aktivis yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Mereka mengajukan protes atas kesewenang-wenangan pemerintah melakukan pengukuran tanah dan penggusuran paksa penduduk di desa itu dengan dalih pembangunan.

Salah satu anggota KNPA, Bambang Nurdiansyah mengatakan, konflik pembebasan lahan Bandara Kertajati diawali dengan keluarnya surat pernyataan sepihak dari 11 kepala desa yang menyatakan dukungan atas rencana pembangunan lapangan udara baru tersebut di atas tanah seluas kurang lebih 5.000 hektare di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Surat itu ditandatangani pada 14 Oktober 2004. Padahal, mayoritas warga di 11 desa tersebut pada mulanya menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan bandara itu.

“Sejak awal, rencana pembangunan Bandara Kertajati sudah disertai dengan proses yang manipulatif dan kerap diwarnai intimidasi, teror, hingga kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian kepada warga,” ujarnya.

Dari 11 desa yang terkena dampak penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, 10 di antaranya telah diratakan tanpa proses yang jelas. Sepuluh desa yang dimaksud adalah Bantarjati, Kertajati, Kertasari, Palasah, Babakan, Sukakerta, Pasiripis, Mekarmulya, Kertawinangun, dan Babajurang. Desa Sukamulya kini menjadi satu-satunya desa yang warganya masih memilih mempertahankan tanah dan kampung halaman mereka. Penduduk yang masih bertahan di desa itu hingga 2017 tercatat sebanyak 1.478 KK dengan luas lahan yang dipertahankan lebih dari 500 hektare.


Bambang menuturkan, aksi pengukuran tanah secara sepihak dan penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah di Desa Sukamulya sejatinya bukan sekali dua kali terjadi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemkab Majalengka, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) diketahui sudah berulang kali melakukan hal yang sama dengan melibatkan aparat gabungan TNI, Polisi, dan Satpol PP.

Ketika terjadi bentrokan antara aparat dan warga pada 17 November 2016, enam orang ditangkap dan belasan warga mengalami luka-luka. Bahkan, satu orang warga mengalami luka sobek di bagian kepala akibat pukulan benda tumpul. Tak cukup sampai di situ, aparat keamanan bergerak memasuki persawahan hingga ke permukiman penduduk untuk melakukan penyisiran. “Proses penyisiran Desa Sukamulya pada waktu itu juga disertai tindakan penembakan gas air mata ke arah warga,” ungkapnya.

Menurut Bambang, tindakan represif aparat tersebut telah menimbulkan trauma bagi warga, khususnya perempuan dan anak-anak. Bahkan, hingga sehari pascaperistiwa (18 November 2016), warga masih terkonsentrasi di Balai Desa Sukamulya dan tidak berani pulang ke rumah masing-masing. Mereka merasa ketakutan lantaran patroli yang dilakukan polisi dan TNI serta ancaman penangkapan terhadap warga.

Salah satu petani asal Desa Kertajati, Wamemeng, mengaku sudah menjual semua lahan pertanian miliknya kepada pemerintah untuk pembangunan Bandara Kertajati. Sayangnya, uang yang dia dapatkan dari hasil penjualan tanah itu ternyata tidak mencukupi buat membeli lahan baru. Akibatnya, pria itu kini terpaksa harus menyewa sawah orang lain untuk digarap.

“Saya dulu punya sawah sendiri. Luasnya 250 tumbak (lebih kurang 3.500 meter persegi).  Semuanya saya jual ke bandara (PT BIJB) seharga  Rp80 juta.  Sekarang uangnya udah habis buat makan  sehari-hari, bikin (membangun) dapur rumah, dan beli motor (untuk) anak saya,” ucapnya.

Wamemeng mengungkapkan, ketika masih memiliki sawah dulu, dia mampu memproduksi rata-rata 3 ton gabah dalam sekali panen. Kini, dengan menggarap lahan orang seluas 100 tumbak, dia hanya mendapat jatah 3 kuintal gabah per sekali panen. “Dulu, (dengan menggarap lahan sendiri) saya bisa ngidupin keluarga dan nyekolahin anak. Cuma beli motor yang enggak bisa. Sekarang, habis jual tanah, beli motor bisa, tapi hidup malah jadi susah,” katanya lirih. ***


Editor : Ahmad Islamy Jamil

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network