PURWAKARTA, iNews.id - Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi tegas menolak wacana pemerintah untuk mengenakan pajak terhadap sejumlah kebutuhan pokok dan jasa pendidikan di Indonesia. Dedi menilai, pengenaan pajak sembako dan jasa pendidikan tidak tepat.
Sebab, kata Dedi, masih banyak hal yang bisa dikenakan pajak selain sembako dan jasa pendidikan. "Saya tegas menolak pajak untuk bahan pokok produk pertanian. Negara tak boleh ambil untung dari kebutuhan pokok rakyat," kata Dedi Mulyadi dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).
Mantan Bupati Purwakarta dua periode ini, jika sembako yang berasal dari produk pertanian dikenakan pajak 5 hingga 12 persen, petani akan semakin rugi karena ongkos produksi semakin tinggi.
"Dengan rencana kenaikan pajak itu, prinsip-prinsip negara menyediakan pangan sebagai bagian dari fungsi melindungi rakyat, menjadi hilang. Harusnya negara melindungi pengadaan dan ketersediaannya," ujar Dedi.
Dedi memiliki gagasan agar wacana tersebut dialihkan dengan meningkatkan pajak plastik. Perusahaan atau industri yang menggunakan bahan baku plastik lebih cocok untuk dikenakan pajak tinggi. Sebab mereka menghasilkan sampah plastik yang hingga kini menjadi masalah lingkungan.
"Pajaknya (industri plastik) ditingkatkan saja. Nah, uang pajaknya itu kan bisa digunakan untuk pengelolaan limbah, termasuk plastik mulai dari desa setiap daerah," tutur Dedi.
Menurut Dedi, pengenaan pajak tinggi terhadap industri plastik lebih baik dibanding dengan mengenakan pajak sembako seperti cabai dan beras. Sebab selama ini, sembako lebih bermanfaat bagi masyarakat dan tidak meninggalkan problem sampah di lingkungan. "Kalaupun sembako menghasilkan sampah itu mudah diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat," ucapnya.
Selain itu, ujar Dedi, pajak sembako hanya akan menimbulkan masalah baru bagi petani, pedagang, hingga konsumen. "Petani menjerit, pedagang meradang, pembeli nyeri ulu hati," ujar Dedi.
Di sisi lain Dedi juga menilai pajak tersebut malah akan menghilangkan semangat petani. Sebab dikhawatirkan pajak malah akan membebani sehingga tidak ada lagi masyarakat yang ingin menjadi petani di Indonesia.
"Kalau melihat data jumlah petani kita setiap tahun menurun. Jangan sampai wacana ini malah akan semakin menurunkan minat masyarakat akan pertanian," tutur Dedi.
Diketahui, pemerintah mewacanakan mengenakan pajak sembako dan jasa pendidikan. Wacana tersebut masih berbentuk draf yang akan diserahkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lantaran dinilai menambah beban hidup rakyat di tengah pandemi Covid-19, wacana pajak sembako itu ditolak oleh berbagai kalangan. Tak hanya tokoh, tapi juga masyarakat luas.
Sementara itu, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PN 12 persen yang diwacanakan berlaku terhadap sejumlah komoditas sembako ternyata tidak tercantum dalam draf Rancangan Undang-Undang Revisi UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Menurut staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, tidak ada pasal dalam RUU KUP yang secara eksplisit menyebut tentang usulan menerapkan PPN sebesar 12 persen untuk bahan kebutuhan pokok atau sembako.
"Yang terjadi, ada satu pasal yang di dalam draft itu mengatakan bahan kebutuhan pokok bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek PPN. Karena RUU KUP bicara tarif pajak, kemudian dicantolkan seolah-olah sembako dikenakan tarif PPN," kata Yustinus dalam diskusi "Publik Teriak Sembako Dipajak" yang diselenggarakan Trijaya FM, di Jakarta, Sabtu(12/6/2021).
Dia mengungkapkan, akibat hanya dicantolkan atau diinterpretasikan secara sepotong, maka konsep dalam RUU KUP yang dimaksudkan untuk reformasi perpajakan yang berkeadilan jadi terlepas maknanya.
Apalagi masalah sembako merupakan hal yang krusial bagi masyarakat, sehingga isunya berkembang menjadi liar seolah-olah pemerintah tidak memiliki rasa keadilan dan kepedulian terhadap kondisi masyarakat di tengah masa pandemi Covid-19.
"Justru dengan RUU KUP saat ini, pemerintah mendesain satu RUU yang cukup komprehensif.
Isinya ada tentang pajak karbon, upaya menangkal penghindaran pajak yang sangat masif dilakukan, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Tapi yang terekspos ke publik dan mengundang kritik justru soal PPN sembako yang sebetulnya tidak secara eksplisit dibahas dalam RUU KUP," ujar Yustinus.
Dia menjelaskan, dalam RUU KUP, pemerintah juga mengusulkan kenaikan tarif PPh orang pribadi bagi orang kaya atau yang berpenghasilan tinggi supaya yang mampu membayar pajak lebih tinggi.
Mengenai persoalan PPN sembako yang menjadi polemik, Yustinus menilai, ada distorsi informasi kepada masyarakat. Dia mencontohkan, tak semua beras adalah barang murah, misalnya beras premium yang harganya bisa mencapai Rp50.000 per kilogram.
Jelas beras dengan harga tersebut hanya mampu dibeli orang kaya, namun tidak dikenakan pajak sama seperti beras di pasar yang seharga Rp10.000 per kilogram.
"Ini ada distorsi, jadi pengecualian yang terlalu luas itu membuat kita gagal mengadminitrasikan dengan baik dan gagal mengajak yang mampu untuk berkontribusi membayar pajak. Ini yang sebenarnya ingin kita atasi," ungkap Yustinus.
Editor : Agus Warsudi
pajak sembako bayar pajak denda pajak kasus pajak Kebocoran Pajak kepatuhan pajak objek pajak pajak dedi mulyadi anggota dpr
Artikel Terkait