MAJALENGKA, iNews.id - Konflik bersenjata di Sudan menyisakan cerita tersendiri bagi Nani Suwarini, WNI asal Kabupaten Majalengka. Dia yang tercatat sebagai warga Kelurahan Majalengka Kulon, Kecamatan Majalengka, merasakan pilunya hidup di negara yang bertikai.
Nani yang berada di Sudan sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) itu, akhirnya harus merasakan hidup dengan suara desingan peluru secara langsung dari para pihak yang bertikai. Bahkan, granat bukan hanya katanya, tapi melihatnya secara langsung ketika meledak.
Kondisi politik di Sudan juga, membuat Nani menderita kerugian materi tidak sedikit. Kerugian materi itu diterimanya saat tempat tinggalnya dihantam bom oleh salah satu pihak yang bertikai.
"Saya tinggal di pusat kotanya, Khartoum, di tempat perang itu," kata PMI yang tinggal di Sudan selama 15 tahun itu, memulia cerita kepada wartawan di kediamannya, Selasa (2/5/2023).
Dalam suatu kesempatan, Nani mengaku sempat mendapat lemparan granat, yang tidak tahu dilempar dari pihak mana. Awalnya, Nani mengaku tidak mengira kalau benda yang terjatuh di dekatnya itu granat.
"Awalnya di belakang, terus di depan juga ada. Pas saya lihat ke atas, eh ada pesawat, dan itu ternyata yang ada di belakang dan depan itu granat," kata dia.
Bahkan, granat dari pihak bertikai sempat menghancurkan dapur tempat tinggalnya. Alhasil, semua uang miliknya tidak bisa diselamatkan.
"Kontrakan saya kena granat. Dan uang saya habis. Itu jam 1 malam. Uang saya disimpan di dapur. Dengan pertimbangan, menghindar dari penjahat yang mungkin masuk rumah. Di kota ini, karena kota besar, jadi kriminalnya juga tinggi," tutur dia.
Seiring berjalannya waktu, kondisi keamanan di Sudan, khususnya kota yang ditinggali Nina semakin tidak menentu. Alhasil, pemerintah Indonesia lewat KBRI memutuskan untuk mengevakuasi WNI, tidak terkecuali Nina.
"Saat itu, saya yang terakhir dievakuasi. Saya keluar dari rumah menuju Mayo, tempat pengungsian sekitar 10 kilometer. Saya diantar warga Sudan," ujar dia.
Saat melakukan perjalanan ke Mayo, Nani membawa serta 'bendera merah-putih.' Bendera itu sekaligus melengkapi identitas resmi lainnya.
"Saya menggunting pakaian dari warna merah dan putih, dibikin bendera merah putih. Setiap kali ada posko, saya perlihatkan itu," ujar dia.
"Baru setelah posko 4, pemeriksaan lebih ketat, tidak percaya dengan memperlihatkan bendera itu. Saya akhirnya perlihatkan identitas Indonesia," lanjut dia.
Saat sampai di Mayo, Nani mengaku menerima telepon dari pihak KBRI dan diminta untuk kembali. "Saya kembali lagi, tapi nggak ke KBRI, saya ke PPI," tutur dia.
Setelah itu, pekan lalu, Nani bersama WNI lainnya, termasuk mahasiswa di Sudan dievakuasi pulang ke Indonesia. Namun sayang, di tengah perjalanan terjadi musibah.
"Ada 6 bus, itu dari kloter 2. Satu mobil untuk PMI bersama dari Kedubes, terus 5 mobil dari kalangan mahasiswa," kata dia.
"Di perjalanan, bus yang kami tumpangi kecelakaan, masuk jurang. Saya mengalami luka di bagian kaki. Tidak dirujuk ke rumah sakit, kami menunggu rombongan mahasiswa. Begitu tiba, kami dibagi ke 5 mobil mahasiswa itu," lanjut dia.
Kini, Nani telah tiba di kampung halaman. Kendati luka bekas kecelakaannya belum benar-benar sembuh, tetapi Nina mengaku bersyukur bisa kembali berkumpul bersama keluarga.
"Dari Majalengka, ada satu orang lagi, orang (kecamatan) Sindang, sama luka juga karena satu mobil dengan saya . Alhamdulillah, saya sekarang semakin membaik," papar dia.
Sementara, untuk warga Majalengka yang juga jadi PMI di Sudan lainnya yakni Nemah warga Desa Bayureja, Kecamatan Sindang. Nemah dikabarkan mengalami luka pada bagian kaki.
Editor : Asep Supiandi
Artikel Terkait