Terowongan Tertua di Jawa Barat, Lampegan di Cianjur dan Kisah Nyi Sadea

BANDUNG, iNews.id - Terowongan merupakan jalur pintas yang menembus gunung atau bukit. Di Jawa Barat, terdapat sejumlah terowongan baik kereta api maupun jalan raya.
Yang terbaru adalah twin tunel atau terowongan kembar Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) di Kabupaten Sumedang.
Kemudian terowongan Gunung Bohong di Kota Cimahi. Terowongan ini merupakan jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang menembus Gunung Bohong. Kemudian, terowongan KCJB di Kampung Tegal Nangklak, Desa Bunder, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta.
Namun dari sekian terowongan di Jawa Barat, yang paling tua dan pertama dibangun di Jawa Barat adalah terowongan kereta api Lampegan berlokasi di Pasir Gunung Keneng, Desa Cibokor, Kabupaten Cianjur. Terowongan Lampegan salah satu yang tertua di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, berikut kisah tentang Terowongan Lampegan:
1. Menembus Gunung Kancana
Terowongan Lampegan dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Negara Staatspoorwegen (SS) pada masa kolonial Belanda. Terowongan Lampegan yang menembus Gunung Kancana. Mulai dibangun pada 1879 dan selesai tiga tahun kemudian 1882.
Konon, selama pembangunan terowongan Lampegan sepanjang 415 meter, sejumlah pekerja pribumi harus meregang nyawa. Sebab mereka dipaksa bekerja siang dan malam tanpa konsumsi memadai. Jika para pribumi terlihat malas-malasan karena kelelahan, para penjajah akan menyiksa mereka. Tidak heran, warga sekitar kerap mendengar suara teriakan kesakitan dari dalam terowongan itu.
Walaupun telah berusia tua, Terowongan Lampegan yang berdekatkan dengan Stasiun Kereta Api Lampegan masih digunakan sampai saat ini. Terowongan itu menghubungkan jalur kereta Sukabumi-Cianjur yang membentang sepanjang 39 kilometer untuk mendukung jalur rute Bogor-Sukabumi-Bandung.
Proses pembangunan Terowongan Lampegan sempat menemui kesulitan karena harus menembus Gunung Kancana. Namun para insinyur Belanda meledakkan bagian tengah bukit besar itu dengan dinamit. Setelah jebol, pembangunan pun lancar.
Peresmian Terowongan Lampegan pada 1882, dilakukan oleh Gubernur Hindia Belanda saat itu Cornelis Pijnacker Hordik. Hadir para pejabat Hindia Belanda dan para bangsawan lokal, seperti Bupati Cianjur RAA Prawiradireja.
2. Cerita Horor Nyi Sadea
Untuk memeriahkan peresmian terowongan Lampegan, Staatspoorwegen (SS) menggelar pertunjukkan hiburan pada malam hari dengan mengundang penari ronggeng cantik, Nyi Sadea.
Nyi Sadea dan dua penari lain, melenggak-lenggokkan tubuh, menari, diiringi musik tradisional, di bawah rintik hujan. Mereka mengenakan kemben merah dan selendang kuning.
Setelah pertunjukkan usai, Nyi Sadea mendengar ada suara memanggil namanya dari dalam terowongan. Tanpa curiga, Nyi Sadea berjalan memasuki terowongan. Sejak saat itu, Nyi Sadea menghilang sampai saat ini.
Konon Nyi Sadea diambil oleh jin penunnggu kawasan Lampegan sebagai tumbal terowongan. Selain hilangnya Nyi Sadea bak ditelan bumi memunculkan gosip horor, tetapi masyarakat juga menduga perempuan cantik itu dibunuh. Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton dalam terowongan.
Cerita masyarakat sekitar, Nyi Sadea sering gentayangan sebagai mahluk halus penghuni Terowongan Lampegan. Karena relatif sepi, warga lokal memanfaatkan terowongan Lampegan sebagai jalan pintas dari arah Cireungas Sukabumi ke Lampegan Cianjur, atau sebaliknya.
Sebab, Stasiun Lampegan sekarang hanya disinggahi Kereta Api Siliwangi yang menghubungkan Stasiun Ciranjang, Cianjur, dan Sukabumi.
Berdasarkan cerita masyarakat, mereka kerap melihat penampakan Nyi Sadea di teroworangan. Dia sekali-kali sering menampakan diri di terowongan dalam penampilan perempuan cantik berkebaya merah.
Selain itu, saat ini, Stasiun Lampegan dijadikan jalur wisata. Sebab, stasiun itu tidak jauh dari situs megalitikum, Gunung Padang, Cianjur.
3. Saksi Bisu Pejuang
Selepas masa penjajahan Belanda, periode 1942-1945, Terowongan Lampegan dikuasai oleh tentara Jepang. Serdadu Jepang membuat sebuah pos penjagaan di sana.
Di akhir kekuasaan Jepang, Stasiun Lampegan kerap dijadikan sasaran penyerangan para pemuda Indonesia untuk mendapatkan senjata.
Setelah 1945, tentara Jepang pergi. Stasiun dan pos penjagaan di Terowongan Lampegan dikuasai serdadu Belanda. Kawasan Lampegan pun kerap menjadi ajang duel mortir antara TNI dengan KNIL.
Para pejuang bergerilya di wilayah sekitar Lampegan. Mereka bergerilya di hutan-hutan dekat Stasiun Lampegan untuk mengganggu para serdadu Belanda yang berpos di Lampegan.
Lokasi yang berbukit dan berada di tengah hutan, membuat terowongan Lampegan strategis untuk melawan dan bersembunyi dari penjajah. Lampegan merupakan lokasi ideal untuk ajang duel mortir guna menakut-nakuti serdadu Belanda.
Terkait asal mula nama Lampegan disematkan untuk terowongan kereta api tersebut, ada yang menyebutkan, Lampegan berasal dari ucapan seorang mandor Belanda, Van Beckham yang berteriak "Lamp pegang (pegang lampunya) kepada para pekerja pribumi.
Ada juga cerita yang menyebutkan nama Lampegan berasal dari seruan masini kepada anak buahnya saat hendak melalui terowongan tersebut. Sang manisni berteriak, "Lampen aan! Lampen aan! (Nyalakan lampu, nyalakan lampu!).”
Sedangkan dari sisi bahasa Sunda, Lampegan berarti sejenis pohon kecil yang banyak tumbuh di kawasan terowongan itu. Namun, dari segi bahasa cukup lemah.
Yang lebih kuat membuktikan nama Lampegan disematkan karena terowongan itu menembus Bukit Lampegan di sisi timur dan Kendengan di selatan yang berada dalam kawasan Gunung Kancana.
Terowongan ini berbatasan dengan Perkebunan Teh Lampegan. Sedangkan di sisi barat-utara terdapat perkebunan Harjasari dan Gunung Kancana.
Letak Stasiun Lampegan berada di sisi timur-laut terowongan. Jauh sebelum terowongan dibangun, kawasan itu merupakan permukiman penduduk yang telah menggunakan nama Lampegan. Selain itu, mengacu pada dokumen kolonial, nama Lampegan telah eksis sejak 1870-an.
Karena di kawasan itu banyak perkebunan teh, maka Staatspoorwegen menganggap penting membangun jalur kereta dengan membuat terowongan di lereng timur Gunung Salak dan di lereng barat-selatan-timur Gunung Gede-Pangrango.
Para pengusaha perkebunan pun menyambut baik pembangunan jalur kereta ke kawasan Lampegan. Dengan begitu, mereka bisa mengangkut hasil perkebunan menggunakan kereta.
Editor: Agus Warsudi