get app
inews
Aa Text
Read Next : Klinik Kesehatan di Bandung Turunkan Tarif Tes PCR Rp495.000

Serikat Karyawan Angkasa Pura II Nilai Aturan bagi Transportasi Udara Diskriminatif

Kamis, 26 Agustus 2021 - 20:41:00 WIB
Serikat Karyawan Angkasa Pura II Nilai Aturan bagi Transportasi Udara Diskriminatif
Penumpang pesawat wajib tes PCR dan menunjukkan kartu vaksinasi selama pemberlakuan PPKM darurat. (Foto: Dokumentasi/iNews.id)

BANDUNG, iNews.id - Serikat Karyawan Angkasa Pura (Sekarpura) II menilai aturan bagi calon penumpang trasportasi pesawat udara diskriminatif. Karena itu mereka meminta aturan tersebut ditinjau ulang.

Ketua Umum Sekarpura II Trisna Wijaya mengatakan, selama pemberlakuan aturan tes PCR bagi penumpang pesawat, banyak masyarakat yang urgent dikarenakan kemalangan, keluarga sakit kritis atau urgensi lain, tidak dapat langsung menggunakan transportasi udara dan harus menunggu beberapa hari.

"Ada dua hal yang disoroti oleh kami, yang pertama keluhan penumpang terhadap persyaratan penerbangan yang sangat sering berubah. Terlalu mahal, terlalu lama hasilnya, terlalu membingungkan, dan keluhan lain. Selain wajib vaksinasi, juga harus (tes) PCR," kata Ketum Sekarpura II dalam siaran pers, Kamis (26/8/2021).

Karena itu, ujar Trisna, kebijakan terkait persyaratan wajib PCR tersebut ditinjau ulang dan diberlakukan sama antara Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali. Dapat menggunakan rapid antigen dan GNose C-19 agi calon penumpang yang sudah divaksinasi. 

"Kenyataannya, dengan teknologi HEPA Filter di pesawat, penumpang tidak diperbolehkan makan minum dan harus menggunakan selalu masker saat di pesawat," ujarnya. 

Selain itu, tutur Trisna Wijaya, bandar udara salah satunya Bandara Soekarno-Hatta yang dikelola AP II, telah mendapatkan banyak sertifikat terbaik penanganan Covid-19 oleh asosiasi internasional seperti dari ACI dan Skytrax.

"Dengan penghargaan dari lembaga internasional, meski di situasi sulit dan penuh keterbatasan, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian. Misalnya, meminta Bank Himbara untuk mau memberikan pinjaman, memberikan insentif PSC kembali seperti yang dilakukan di Q4 2020 lalu. Kemudian juga memberikan PMN misalnya agar saturasi oksigen kami masih bisa terjaga baik. Yang terpenting adalah memastikan operasional bandar udara tetap terlaksana baik," tutur Trisna.

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, ada aturan terkesan diskriminatif terhadap transportasi udara. Seperti, persyaratan hasil negatif Covid-19 dengan tes PCR dan vaksinasi bagi penumpang pesawat.  

"Saya kira yang pertama harusnya syarat untuk perjalanan udara disamakan dengan moda transportasi lain. Moda tranportasi yang paling banyak digunakan itu kan darat, tapi justru paling longgar, tidak disiplin," kata Alvin Lie dalam Diskusi Panel 'Saturasi Oksigen Aviasi Indonesia'. 

"Pemerintah juga seharusnya mengapresiasi juga bahwa transportasi udara selama ini paling ketat dan paling disiplin. Juga alat angkutnya ini, sebelum pandemi juga sudah dilengkapi HEPA filter kemudian ada peraturannya penerbangan dibawah 2 jam tidak boleh makan, tidak boleh bicara, harus pakai masker. Ini kok masih ditambahin PCR lagi," ujarnya. 

Alvin Lie menuturkan, selain menyamakan persyaratan bagi pengguna transportasi udara, pemerintah juga diharapkan untuk mengampanyekan terbang itu aman. Dengan sejumlah persyaratan untuk penumpang transportasi udara, terkesan terbang tidak aman.

"Dengan regulasi yang diskriminatif ini justru menambah kesan publik bahwa terbang itu tidak aman. Percuma saja menteri pariwisata mempromosikan daerah wisata tapi tidak mempromosikan penerbangan. Padahal daerah-daerah wisata itu membutuhkan tranportasi udara," tutur Alvin Lie. 

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa pemerintah terkesan diskriminatif terhadap sektor transportasi udara yang sangat merugikan konsumen. 

"Seharusnya memang pemerintah tidak seharusnya memberikan satu kebijakan yang diskriminatif pada sektor udara. Karena toh, ketika sektor udara dibatasi dengan ketat khususnya dengan tes PCR dan segala macam kemudian sektor lainnya tidak, mobilitas juga sama saja," kata Tulus.

Tulus Abadi menyatakan, adanya kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat dengan melakukan pembatasan penerbangan tidak mempengaruhi atau tidak membatasi mobilitas masyarakat lain karena pengawasannya berbeda.

"Mobilitas jadi tidak terkendali dan akhirnya di satu sisi ingin membatasi penerbangan untuk membatasi mobilitas tapi mobilitas lain tetap jalan.  Dengan adanya kebijakan yang sangat dinamis atau dalam bahasa terangnya adalah berubah-ubah, itu jelas sangat merisaukan konsumen dan sangat merugikan konsumen," ujarnya.

Editor: Agus Warsudi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut