Perkara Kepailitan Marak di Masa Pandemi, Kreditur Diimbau Lebih Waspada
BANDUNG, iNews.id - Perkara kepailitan marak terjadi selama masa pandemi Covid-19 akibat melemahnya ekonomi setahun terakhir. Kondisi ini perlu diwaspadai oleh masyarakat sebagai kreditur.
Dikutip dari Hukum Online Selasa 8 September 2020, pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan, terutama di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat) melonjak drastis.
Sejak Januari 2020, permohonan PKPU dan pailit melonjak, mencapai angka 318 perkara, dengan mayoritas 278 perkara PKPU dan sisanya pailit. Pada tahun sama, jumlah permohonan PKPU di seluruh Indonesia mencapai 400.
Dibanding tahun lalu di PN Pusat, perkara PKPU dan Kepailitan per September 2019, berada di angka 257 atau selisih 131 perkara dari tahun 2020.
Praktisi hukum dari Law Office MBH & Partner M Basuki Herlambang, Maraknya perkara kepailitan memantik para oknum yang diduga sengaja memanfaatkan situasi sulit ini guna meraup keuntungan pribadi. Karena itu, kondisi ini harus disikapi waspada oleh masyarakat luas.
"Harus hati-hati. Kalau tidak ditelaah cermat oleh kreditur dan debitur bisa jadi pihak yang merugi," kata praktisi hukum dari Law Office MBH & Partner M Basuki Herlambang di Bandung, Selasa (2/3/2021).
Dia mengemukakan, Herlambang masalah muncul lantaran para oknum diduga berlindung dibalik Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang mengatur mekanisme penyelesaian kewajiban antara kreditur dan debitur.
"Contoh banyak kreditur bukan preferen, tidak mendapat nformasi secara gamblang dari oknum tertentu. Tapi mereka didorong untuk memohon kepailitan, misal kepada perusahaan properti yang saat ini sedang rawan dipailitkan," ujarnya.
Informasi yang tidak benar, tutur Herlambang, akibatnya berpotensi merugikan kreditur karena tidak mengetahui perusahaan yang dipailitkan terkait utang piutang, pajak, atau soal kepemilikan aset perusahaan.
Potret tersebut membuat potensi kembalinya uang kreditur kecil. Alih-alih uang kembali, hal tersebut malah bisa merugikan kreditur.
"Ini jelas sangat merugikan kreditur yang bukan kreditur preferen karena pengembalian pada posisi tahap terakhir itupun tidak serta merta uangnya kembali karena berdasarkan pengaturan kurator. Belum lagi kalau aset yang dipailitkan nilainya lebih kecil dari nilai yang harus dibayarkan kepada pihak kreditur. Kalau sudah begitu, kreditur yang tidak puas memiliki beban karena harus menempuh upaya hukum lagi," tutur Herlambang.
Modus lain yang digunakan, kata Herlambang, ada pihak-pihak yang diduga ikut bermain untuk mendapatkan aset murah dari perusahaan yang dipailitkan tersebut.
"Ada para distressed investors yang biasanya membidik perusahaan yang mengalami masalah keuangan. Sasarannya biar dapat aset dengan harga murah," ucapnya.
Untuk menghidari kerugian, Herlambang menyarankan para kreditur yang terkait dengan proses kepailitan untuk teliti dan aktif mencari informasi.
"Intinya kreditur harus jeli. Biar didampingi pengacara sekalipun tidak ada salahnya kreditur mengupdate berbagai informasi soal kepailitan," ujar Herlambang.
Editor: Agus Warsudi