Kisah Guru Seni Rupa KSAD Jenderal Dudung semasa SMP Buat Lukisan Bertema Toleransi
BANDUNG, iNews.id - Umar Sumarta merupakan guru seni rupa KSAD Jenderal Dudung Abdurachman saat mengenyam pendidikan di SMP Kartika Candra Bandung, puluhan tahun silam. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Umar yang kini telah sepuh, mengetahui muridnya sukses dengan pangkat jenderal bintang 4 di pundak.
Ingatan Umar akan sosok Dudung Abdurachman yang toleran kepada sesama, bahkan sampai saat ini, mendorong dirinya membuat karya lukis bertema toleransi. Meski sudah berusia 74 tahun, tangan Umar masih cekatan memulas kuas dan cat ke kanvas.
Setelah jadi dan dirasa pas, baik dari nilai seni maupun pesan toleransi yang disampaikan, lukisan itu diberikan kepada Jenderal TNI Dudung Abdurachman. KSAD Jenderal Dudung pun menyambut baik pemberian spesial dari guru seni rupa semasa SMP itu. Mantan Pangkostrad datang ke rumah Umar Sumarta.
Lukisan itu selesai satu tahun lalu. Bahkan, Dudung sengaja menemui Umar di kediamannya. Saat itu, Jenderal Dudung hendak membawa lukisan yang belum berbingkai tersebut.
Umar melarang untuk dibawa terlebih dahulu. "Waktu itu mau langsung dibawa, digulung. Saya bilang jangan dulu. Mau saya kasih bingkai dulu," kata Umar di rumahnya, Jalan Sarimadu, Kota Bandung, Jumat (18/2/2022).
Setelah dibingkai warna emas, Umar bersama keluarga dan salah seorang pengacara pribadi yang biasa menangani selebriti Heri Wijaya mengantarkan langsung lukisan ke kediaman Jenderal Dudung.
Pengacara Heri Wijaya yang mendampingi Umar Sumarta berkunjung ke kediam Jenderal TNI Dudung dan menyerahkan lukisan itu mengatakan, karya lukis itu salah satu bentuk respect (penghormatan) seorang guru kepada muridnya. "Karya lukis itu bentuk respect dari seorang guru kepada muridnya," kata Heri.
Umar mengatakan, awal mula ide membuat lukisan bertema toleransi itu dibuat lantaran kerinduan kepada muridnya Dudung Abdurachman yang telah puluhan tahun tak bertemu. Bermodalkan kisah hidup dan sifat Dudung yang toleran, menginspirasi Umar membuat lukisan itu.
Dengan bakat seninya, Umar pun menggerakan kuas di atas kanvas. Dalam lukisan itu, Umar menggambar sosok Dudung berseragam TNI sedang duduk di atas kuda berwarna cokelat. Dudung dikeliling oleh banyak masyarakat. Di balik lukisan itu juga terlihat beberapa bangunan dari agama-agama di Indonesia.
"Ini (lukisan) saya menggambarkan kita hidup ber-Pancasila dan menjunjung toleransi. Kalau dilihat detailnya, ada masjid karena kita mayoritas agama Islam, terus ada candi Borobudur, gereja, ada Liong untuk Konghucu. Semua agama ada dalam (lukisan) dan hidup berdampingan," ujarnya.
Selain Jenderal Dudung Abdurachman di atas kuda dan dikeliling masyarakat serta tempat ibadah agama-agama, yang paling menarik adalah, terdapat sosok anak kecil penjual koran berseragam sekolah.
Sosok itu, ujar Umar, melukiskan Dudung Abdurachman saat masih SMP berusia sekitar 11 tahun. Saat itu, Dudung pernah menjadi loper koran untuk membantu ekonomi keluarganya.
"Detail penjual koran paling berkesan buat saya. Saya menggambarkan sosok Jenderal Dudung umur sebelas tahun. Ini tidak melihat foto, saya gambarkan saja," ujarnya.
Selain anak kecil penjual koran, tutur Umar, dalam lukisan itu juga terdapat gambar empat bintang di baret hijau yang dikenakan Dudung. Yang membuat menarik, saat lukisan itu dibuat, Dudung masih berpangkat Letnan Jenderal atau jenderal bintang tiga dan menjabat Pangkostrad.
Umar sengaja melukis bintang empat di baret yang dikenakan Dudung sebagai doa karier muridnya semasa SMP itu bakal naik menjadi KSAD dan menyandang bintang empat. "Saat melukis itu belum jadi KSAD. Belum bintang empat. Saya bikin sebagai doa. Akhirnya doa saya terkabul menjadi KSAD. Itu doa dari guru ke murid," tutur Umar.
Umar menuturkan lukisan itu dibuat atas inisiatif sendiri berlandaskan rasa bangga kepada murid. "Jadi lukisan ini tidak dipesan. Hanya ide, inisiatif saya melukis murid. Saya bangga berhasil melukis. Waktu diketemukan (bertemu dengan Jenderal Dudung) saya bangga. Murid saya banyak, yang paling melesat (kariernya) Pak Jenderal Dudung," ucapnya.
Editor: Agus Warsudi