Kisah Agus Marshal, Eks Napi Terorisme Jaringan Aceh, Mentor Pelaku Bom Panci Bandung
PURWAKARTA, iNews.id – Penampilan pria ini sudah berubah. Dia tak lagi berjenggot dan mengenakan busana ala mujahid. Agus Marshal, eks napi teroris jaringan Aceh ini pun lebih terbuka dalam memandang hidup dan kehidupan bermasyarakat.
Gambaran itu terlihat saat Agus Marshal berbincang santai dengan anggota Komisi IV DPR Dedi Mulyadi yang videonya ditayangkan dalam akun YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel, Selasa 6 April 2021.
Diketahui, aksi teroris mengguncang Indonesia dan menyedot perhatian masyarakat. Terakhir adalah bom bunuh diri di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri.
Selain Jamaah Islamiah (JI) dan Jamaah Ansharut Daullah (JAD), kelompok teroris yang juga diwaspadai adalah jaringan Aceh. Mereka kerap menggelar pelatihan perang.
Pada 2009-2010, jaringan Aceh juga beberapa kali melakukan aksi teror. Seperti bom panci di Taman Arjuna, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Salah satu tokohnya adalah Agus Marshal, pria asal Purwakarta yang bertugas menyuplai amunisi, peledak, dan perekrut orang untuk ikut latihan perang di Aceh.
Agus Marshal ditangkap pada 2010 karena terlibat aksi teror bom panci di Bandung. Dia dihukum penjara selama 4 tahun 8 bulan di Lapas Cibinong, Bogor.
Setelah itu, Agus menjalani program deradikalisasi yang dipantau langsung oleh Dedi Mulyadi. Saat itu, Dedi masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta.
Selain mengubah mainset para eks napi teroris, saat itu Dedi Mulyadi juga memberikan bantuan modal agar Agus bisa kembali menata kehidupan ekonominya.
Agus Marshal juga diberi kesempatan menjadi pembicara dalam Sekolah Ideologi yang digagas Dedi Mulyadi untuk berbagi kisah sekaligus mengingatkan generasi muda akan bahaya terorisme.
Selepas menjalani masa hukuman dan mengikuti program deradikalisasi, Agus Marshal kembali ke masyarakat. Agus memulai usaha dan kini dia dipercaya sebagai pengawas kebersihan di wilayah Bungursari hingga Tol Cikopo.
“Sekarang ada 13 orang yang tinggal di rumah, mulai anak, menantu, sampai cucu. Anak ada yang di-PHK. Kemudian menantu kerja serabutan. Tapi alhamdulillah rezeki ada saja. Istri juga bantu-bantu dari hasil laundry,” kata Agus saat berbincang dengan Dedi Mulyadi
Agus menceritakan awal mula dia bergabung dengan jaringan teroris Aceh hingga akhirnya menjadi puncak pimpinan atau Amil dalam jaringannya. Saat itu, dia bekerja sebagai buruh pabrik, sering mengikuti pengajian umum di Cikampek.
Dalam pengajian tersebut, Agus berinteraksi dengan sejumlah orang hingga akhirnya terjadi diskusi. Perlahan Agus pun meninggalkan pengajian itu dan mulai rutin berdiskusi dengan sekitar 10 hingga 12 orang yang sepemahaman dengannya.
“Dari situ kami mulai pemahaman itu ambil sikap jelas. Kami kontra dengan ideologi pemerintah, dengan hukum. Bahasanya kita luruskan, tapi di lapangan kan beda. Jadi antara dakwah dan kepentingan politik itu yang berkembang,” kata Agus yang kemudian dipercaya menjadi pimpinan kelompok.
Akhirnya, Agus terlibat dalam program pelatihan militer teroris di Aceh. Agus mendapat tugas mengelola suplai senjata, amunisi, dan merekrut peserta pelatihan militer di Aceh.
Suatu ketika, Agus ditugaskan mengambil 12 dus berisi sekitar 12.000 peluru dari kelompok teroris lain di sekitar SPBU Cikopo. “Awalnya saya tidak tahu itu (12.000 peluru) dari mana. Ternyata yang kirim (tokoh teroris) Dulmatin (Djoko Pitono) yang ditembak di warnet (Pamulang, Banten). Dari situ saya kenal banyak tokoh termasuk Dulmatin,” ujarnya.
Agus membawa amunisi tersebut ke pos tempat kelompoknya berkumpul. Pos tersebut sebelumnya adalah kandang kambing di sekitar rumah Agus.
Singkat cerita Agus memerintahkan salah seorang untuk membawa dus berisi peluru itu ke Aceh. Saat pengantaran itulah polisi menangkap anak buahnya. Agus yang panik kemudian memindahkan amunisi itu ke Cikampek.
“Waktu itu logistik (amunisi) kami pindahkan ke Cikampek di rumah Yayat yang kemarin bom panci di Bandung. Itu binaan saya, sepengajian. Logistik di situ. Kemudian disuplai tujuan ke Aceh,” tutur Agus.
Polisi yang melakukan pengembangan kasus bom panci Bandung, akhirnya menangkap Agus di Kawasan Industri BIC Purwakarta. Saat itu dia menyamar sebagai pekerja pemasangan instalasi atap baja salah satu pabrik. “Saya sudah tahu diawasi (polisi). Sempat mau pindah (kerjaan). Qodarullah memang jalannya seperti itu (ditangkap),” ucapnya.
“Sekarang saya menyadari dan mempelajari (agama) lebih dalam lagi. Ya saya minta maaf. Ternyata ada sisi buruk berlebihan tadi. Jadi ada sisi kami memahami sepotong-sepotong, euforia, dan menjadi tindakan (terorisme),” ujar Agus, menyesali perbuatannya di masa lalu.
Agus pun berterima kasih pada Dedi Mulyadi yang kini menjabat sebagai anggota DPR. Sebab Dedi yang kala itu menjadi Bupati Purwakarta telah melakukan deradikalisasi yang nyata.
Sementara itu, Dedi Mulyadi menilai terorisme sebagai tindakan irasional yang mengguncang stabilitas negara dan menyengsarakan banyak orang, termasuk keluarga pelaku sendiri.
“Kamit bekerja secara rasional, berprofesi secara profesional, dan tinggalkan berbagai kegiatan indoktrinasi atas nama agama yang menyesatkan dan menyengsarakan banyak orang. Jaga negara, jaga keluarga,” kata Dedi Mulyadi.
Editor: Agus Warsudi