Kenangan Manis Bioskop Rio Cimahi di Masa Keemasan, Gulung Tikar gegara Film Dewasa
CIMAHI, iNews.id - Mungkin bagi warga asli Cimahi, tal asing jika mendengar nama Bioskop Rio. Salah satu bioskop legendaris yang terletak di pusat Kota Cimahi, yang sempat hits zaman Hindia-Belanda hingga era Orde Baru.
Dari arah Alun-alun Cimahi, bagian atas bioskop yang dulunya bernama Rio Theatre itu masih nampak kokoh. Bahkan, tulisan namanya masih terpampang. Hanya saja bagian tembok depan dan samping sudah tidak ada, karena kini telah menjadi tempat niaga.
"Yang hilang hanya bagian depan dan tembok sebelah kiri. Bagian atasnya masih sama dalamnya juga masih sama," kata Ketua Tjimahi Heritage, Machmud Mubarok saat dihubungi, Jumat (27/10/2023).
Bioskop Rio mulai dibangun tahun 1937 oleh F.A.A Buse, seorang pengusaha hiburan yang memiliki jaringan usaha bioskop di beberapa daerah di Hindia-Belanda. Peletakan batu pertama dilakukan anaknya, Yvone Francois Buse.
Gaya bangunan Rio Theatre mengusung desain Art Deco. Sama seperti bioksop lainnya yang dibangun Buse sebelumnya di Bandung, Surabaya, Sukabumi, dan daerah lainnya. Misalnya di Bandung, ada Bioskop Elita, Oriental, dan Luxor dengan ciri khasnya bangunan bergaya Art Deco.
Keberadaan tentara KNIL di kota garnisun itu menjadi peluang bisnis yang sangat menjanjikan bagi jaringan bisnis hiburan asal Belanda itu. Mereka haus akan hiburan ketika itu. Sementara di zaman itu, fasilitasnya di Cimahi sangat terbatas.
"Dari situ memang bioakop beroperasi dengan menayangkan Film Hollywod. Jadi memang itu hiburan bagi orang-orang Belanda awalnya," terang Machmud.
Keberadaan bioskop itu bahkan sempat diberitakan koran berbahasa Belanda, De Preangerbode dan Batavianieuwsblad. Dalam koran itu disebutkan bahwa Rio Theatre sempat mengalami kerusakan dan baru dioperasikan kembali pada tahun 1947. Film pertama yang diputar berjudul Pardon My Sarong pada maret 1947. Lalu pada tanggal 31 maret memutar film berjudul Tall In The Saddle.
Sejak itu bioskop Rio konsisten memutar film-film Hollywood antara lain film Always In My Heart dan Now Voyager. Tak ketinggalan bioskop Rio pun memutar film Indonesia, Tjitra pada tahun 1951 dan Bakti pada tahun 1955.
Tahun 1970-an sampai 1980-an, bioskop Rio dibanjiri film mandarin khususnya bergenre kungfu. Nama-nama beken seperti Wang Yu, Bruce Lee, Chen Lung, dan Lie Lien Cheh menghiasi poster film di depan dan lobi bioskop.
"Saya rasa tahun 60-90-an masa keemasan Bioskop Rio karena di Cimahi waktu itu sedikit sekali tempat hiburannya. Waktu itu saya pernah nonton juga tahun film Tarzan, Sunan Kalijaga, waktu tikenya Rp1.500," ujar Machmud.
Diakuinya kemerdekaan Indonesia berpengaruh terhadap pengelolaan Bioskop Rio yang diserahkan ke Pemprov Jabar melalui PD Djawi saat itu. Meski sudah diserahkan, namun bioskop tersebut terus memutar film-film lokal dan luar negeri.
Namun setelah melewati era tahun 1990-an, keberadaan Bioskop Rio mulai meredup. Kondisi itu dikarenakan biaya operasional yang terus meningkat, sedangkan biaya pemutaran Film Hollywod cukup mahal. Sehingga hanya mengandalkan film lokal.
Apalagi tahun 1997-an mulai bermunculan bioskop-bioskop yang jauh lebih modern seperti 21. Bioskop baru itu memutar film-film Hollywod yang lebih segar dan diminati penonton. Sedangkam Bioskop Rio lebih banyak menonton film yang barbau dewasa.
"Mungkin juga karena waktu itu, tahun 97-98 di Cimahi muncul Bioskop 21 yang menjadi pesaing Rio. Nah 21 ini memutar film-film barat Hollywood, sedangkan Rio film-film Indonesia dan esek-esek dengan suasana tempat yang sudah rusak," ujar Mahmud.
Setelah bertahan hingga tahun 2000-an, Bioskop Rio akhirnya gulung tikar alias tutup tahun 2007. Bahkan, keberadaan sisa bangunan bersejarah peninggalan Hindia-Belanda itu kemudian digunakan sebagai tempat berjualan barang-barang elektronik dan sebagainya. Bangunan itu kini ditetapkan sebagai cagae budaya.
Kekinian, Pemkot Cimahi berencana merestorasi eks bangunan bioskop itu menjadi sebuah tempat yang akan dijadikan gedung kesenian. Machmud sangat mendukung rencana tersebut, dibandingkan dijadikan tempat niaga saat ini.
Dia menyarankan jika jadi direstorasi, bentu bangunannya sebisa mungkin harus mirip Bioskop Rio zaman dulu. Hal itu bisa dilakukam dengan melihat foto-foto Rio Theatre yang dibangun jaringan Hinda-Belanda itu.
"Jadi bagaimana membuat tembok dan dinding sama serupa ketika Rio beridiri. Memang butuh kajian dan ketelitian supaya betul-betul sama," ujar dia.
Kini Bioskop Rio tinggal kenangan. Kesan menonton di bioskop itu pernah dialami Whisnu Pradana (33), warga Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Dia pertama kali menonton bersama teman-temannya.
"Waktu itu tahun 2009 nonton sama temen-temen pas pulang sekolah, tiketnya Rp3.000," ucap Indra.
Setelah masuk ke dalam, masih banyak deretan kursi berwarna merah yang masih kosong. Hanya ada Indra dan lima temannya di sana, serta dua sepasang sejoli yang berada di depan. Dia saat itu disuguhi film yang berbau pornografi.
"Kita sih nontonnya ketawa-ketawa aja waktu itu. Apalagi kursinya kan bunyi terus kalau gerak sedikit saja," ucap Indra.
Editor: Asep Supiandi