Cerita Warga Gegesik Cirebon Lestarikan Seni Tari Topeng yang Terancam Punah
CIREBON, iNews.id - Tari Topeng merupakan seni khas Cirebon tengah berada di sisi zaman. Jika tidak ada upaya untuk melestarikannya, tak menutup kemungkinan Tari Topeng akan punah.
Berangkat dari pemikiran dan kegelisahan itu, warga Desa Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, berusaha melestarikan seni warisan leluhur tersebut dengan membuka sanggar tari.
Pegiat tari di desa ini melatih anak-anak SD, SMP, dan SMA membawakan tarian yang penuh simbol dan filosofi ini. Konon Tari Topeng yang lahir sejak abad ke-10 ini mengandung pesan tentang nilai kepemimipinan, cinta, dan kebijaksanaan.
Tari Topeng khas Cirebon memiliki ciri utama para penari mengenakan topeng untuk menutupi wajah. Sebelum mengenakan topeng, para penari berdandan, menghiasi wajah, dan kostum khas.
Dengan diiringi musik tradisional, para penari Tari Topeng akan berlenggak-lenggok mengikuti irama gamelan. Dalam membawa Tari Topeng, setiap penari akan memerankan tokoh atau karakter berbeda-beda.
Seperti, Tari Topeng Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, Kelana. Jumlah topeng yang digunakan pada tarian ini disebut sebagai panca wanda atau berjumlah lima topeng. Setiap topeng mencirikan tokoh atau karakter berbeda.
Suryono, dalang mengatakan, Tari Topeng lahir pada abad ke-10 Masehi. Tarian ini kemudian berkembang hingga abad ke-16. Saat itu masa pemerintahan Prabu Panji Dewa, Raja Jenggala di Jawa Timur.
"Seiring berjalannya waktu, tari topeng mulai menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat. Salah satunya, Cirebon," kata Suryono.
Cerita yang beredar di masyarakat, ujar Suryono, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga sempat menggunakan Tari Topeng sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam. "Mereka juga menggunakan tari topeng sebagai hiburan di lingkungan keraton," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Desa Gegesik Kulon Gatot Sutrisno mengatakan, melalui sanggar ini diharapkan Tari Topeng akan terus lestari. "Tari Topeng ini warisan budaya leluhur jangan sampai punah," kata Gatot Sutrisno.
Editor: Agus Warsudi