BANDUNG, iNews.id - Masyarakat Indonesia memiliki sejumlah kepercayaan warisan nenek moyang. Kepercayaan itu telah ada jauh sebelum Hindu, Budha, Islam, dan Kristen dianut oleh orang Indonesia.
Sistem kepercayaan leluhur itu masih eksis sampai saat ini. Salah satu kepercayaan leluhur yang diwarisi masyarakatnya adalah Sunda Wiwitan yang dianut suku Sunda di Jawa bagian barat.
Berdasarkan catatan, Sunda Wiwitan masih eksis di beberapa daerah di Jawa Barat. Penganut Sunda Wiwitan sebagian besar tinggal di kampung atau desa adat. Walaupun kini, tidak sedikit warga kampung atau desa adat yang telah memeluk agama Islam.
Penganut Sunda Wiwitan dapat ditemukan di Kanekes, Lebak Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul; Kasepuhan Ciptagelar, Cisolok, Sukabumi; Kasepuhan Cireundeu, Sukabumi; Kampung Naga Tasikmalaya; dan Cigugur Kuningan; Kamput Adat Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bogor.
Para penganutnya tidak ingin disebut penganut agama mana pun. Di kartu tanda penduduk (KTP) pun, mereka ingin disebut sebagai penganut aliran kepercayaan.
Namun karena jika tidak mencantumkan identitas agama tertentu, mereka jadi sulit dalam mengurus sesuatu, akhirnya terpaksa menyembunyikan kepercayaan leluhur yang dianut dan menggantinya dengan identitas agama. Tetapi dalam praktik kehidupan sehari-hari, mereka tidak melaksanakan ajaran agama yang tertera di KTP tersebut.
Dihimpun dari berbagai sumber, berikut penjelasan tentang Sunda Wiwitan:
1. Sang Hyang Kersa
Dalam berbagai literatur, tidak disebutkan siapa pendiri kepercayaan Sunda Wiwitan. Yang pasti, sistem kepercayaan ini diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur suku Sunda.
Fondasi dari sistem kepercayaan Sunda Wiwitan adalah, ada satu entitas yang maha kuasa, memiliki kekuasaan atas segalanya. Dia adalah pencipta alam semesta.
Sunda Wiwitan menyebut entitas yang maha satu itu dengan istilah Sang Hyang Jati Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa. Sifat dan kekuasannya pun tidak terbatas, maka disebut Sang Hyang Kersa atau Yang Maha Kuasa.
Ajaran tentang satu entitas yang maha kuasa tersebut tertulis dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian. Kitab ini berisi ajaran keagamaan, tuntunan moral, aturan, dan budi pekerti bagi masyarakat Sunda.
Maka, Sunda Wiwitan disebut sebagai ajaran agama dengan unsur monoteisme purba. Selain percaya kepada Sang Hyang Jati Tunggal atau Tuhan Yang Maha Esa, Sunda Wiwitan juga mengajarkan tentang aturan moral dan etika, hidup harmonis dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Kearifan lokal masyarakat Sunda terhadap alam masih dipegang teguh sampai saat ini.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, dulu kala, orang Sunda bukanlah penganut Hindu atau Buddha yang berkembang pada abad 1 Masehi, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang menghormati arwah leluhur.
Namun dalam perkembangannya, kepercayaan orang ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu dan sampai kepada Islam. Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
2. Sistem Kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Maha Berkehendak). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Sang Hyang Kersa atau Tuhan Yang Maha Kuasa bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Tidak heran jika masyarakat Sunda tidak begitu mengenal pendirian candi atau pura. Sebab, orang Sunda bukan penganut Hidu dan Buddha. Sang Hyang Kersa tidak dipuja di sebuah tempat.
Orang Kanekes, Badui, menulis: "Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah.
Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang alias surga. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu."
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
3. Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur tersurat dan tersirat. Unsur tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani. Sedangkan yang tersirat adalah pemahaman komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
- Welas asih: cinta kasih
- Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
- Tata krama: tatanan perilaku dalam bermasyarakat.
- Budi bahasa dan budaya
- Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut, manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
- Rupa
- Adat
- Bahasa
- Aksara
- Budaya
Kedua prinsip itu, Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa, tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan yang bernama Siksa Kandang karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani kehidupan dari apa yang tersirat. Yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua. Yaitu, yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain dan yang bisa membahayakan diri sendiri.
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
4. Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Seperti yang berlangsung di Kampung Adat Cireundeu, Cisolok, Kabupaten Sukabumi, beberapa waktu lalu.
Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Sindang Barang, Kabupaten Bogor; Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Kabupaten Sukabumi; Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya; dan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Cigugur, Kabupaten Kuningan, merupakan salah satu daerah yang masih memegang teguh adat kepercayaan, istiadat, dan budaya Sunda. Mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini 100 persen.
5. Tempat Suci
Tempat suci atau pemujaan yang dianggap sakral dan keramat dalam Sunda Wiwitan adalah pamunjungan atau kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit. Pamunjungan ini biasanya terdapat menhir, arca, batu cengkuk, batu mangkuk, batu pipih, dan lain-lain.
Pamunjungan atau kabuyutan banyak ditemukan di Tatar Sunda, seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali, dan lain-lain. Di Kota Bogor, terdapat banyak pamunjungan. Beberapa di antaranya adalah Rancamaya yang dulu bernama Pamunjungan Sanghyang Padungkukan di Bukit Badigul. Namun sayang, saat ini Pamunjungan Sanghyang Padungkulan sudah tidak ada lagi karena digusur menjadi lapangan golf.
Pamunjungan paling besar dan mewah adalah Kihara Hyang di Leuweung Songgom atau Balai Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya pamunjungan di Tatar Sunda, ini membuktikan agama yang dianut mayoritas orang Sunda dahulu adalah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Ini juga menjadi alasan mengapa di Tanah Sunda sangat jarang diketemukan candi.
Hindu dan Buddha berkembang di Tatar Sunda. Namun tidak merasuk terlalu jauh ke masyarakat. Hindu dan Buddha hanya dianut oleh para raja dan kalangan istana kerajaan. Salakanagara pada abad I-III dan Tarumanagara abad III-VII, bahkan hingga Padjadjaran adalah kerajaan bercorak Hindu. Raja-raja Salakanagara, Tarumanagara hingga Padjadjaran adalah penganut Hindu taat.
Editor : Agus Warsudi
Bahasa Sunda budaya sunda adat sunda Upacara adat Sunda Sunda Wiwitan Tatar Pasundan tarumanagara Kerajaan Tarumanagara Kerajaan Salakanagara
Artikel Terkait