BANDUNG, iNews.id- Maraknya konflik antara kepala daerah dan wakilnya bakal menjadi sorotan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hanya 6 persen kepala daerah yang akur dengan wakilnya selama menjabat sejak Pilkada 2005 hingga 2014. Sedangkan sebanyak 971 kepala daerah pecah kongsi seusai dilantik.
Pengamat politik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan mengatakan, buruknya komunikasi dan tidak adanya komitmen bersama antara kepala daerah serta wakilnya membuat roda pemerintahan tidak berjalan baik.
Menurut Asep, ada empat faktor utama yang membuat kepala daerah dan wakilnya sering terjadi pecah kongsi. Faktor pertama, kata Asep, tidak adanya komitmen bersama untuk tidak membawa ambisi pribadi ke dalam roda pemerintahan.
Asep menyebutkan, sebelum memilih untuk jalan bersama sebaiknya sudah ada kesepakatanan atau komitmen untuk menjauhkan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Jika ambisi pribadi ini masuk dalam roda pemerintahan, diprediksi komunikasi pasangan kepala daerah akan menimbulkan persoalan. "Mereka harus memperkuat dan komitmen bersama agar tidak membawa ambisi pribadi ke pemerintahan. Saya yakin kalau ambisi ini masuk ke pemerintahan pasti akan ada persoalan," kata Asep, Selasa (8/5/2018).
Kedua, kata Asep, tidak baiknya komunikasi antara kepala daerah dengan wakilnya bisa terjadi jika ada pihak ketiga seperti partai pengusung atau lainnya dilibatkan dalam pemerintahan. Sebab, kehadiran partai pengusung yang istilahnya meminta jatah akan memperburuk roda pemerintahan. "Ini bisa dimanfaatkan pihak lain untuk meminta jatah. Misalnya, partai meminta jatah kepada wakilnya karena sudah diusung, begitu juga sebaliknya. Kalau ini terjadi bahaya," ujar dia.
Ketiga, lanjut Asep, faktor birokrasi yang sudah terbagun di lingkungan pemerintahan juga dapat memengaruhi komunikasi kepala daerah. Loyalitas pegawai yang tidak seimbang dengan pasangan kepala daerah juga akan mempengaruhi pecah kongsi di pemerintahan di daerah. Kondisi ini pernah terjadi di beberapa daerah di saat sebagian pegawai lebih memilih patuh kepada salah satu pimpinan mereka. "Birokrasi itu sering kali loyalnya kepada siapa. Ini bisa juga membuat pecah komunikasi. Ada kecemburuan dari masing-masing kepala daerah siapa yang lebih loyal," ujar dia.
Keempat, kata Asep, pecah kongsi terlihat jika kepala daerah akan maju kembali dalam ajang pemilihan Pilkada di periode berikutnya. Biasanya, kata Asep, kondisi ini akan terjadi dipengujung pemerintahan karena pasangan kepala daerah ingin maju kembali mencalonkan diri menjadi pemimpin. “Nah, ketika ini muncul semua dipastikan bakal terjadi pecah kongsi antara kepala daerah," ujar dia.
Asep enggan berspekulasi mana saja dari empat pasangan calon di Jabar yang berpotensi memiliki pecah konsi saat menjalankan roda pemerintahan nanti. Dia hanya berharap dari empat pasangan calon ini bisa menghindari buruknya komunikasi antarkepala daerah. Sehingga tidak terjadi perpecahan dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. "Karena itu, empat faktor tadi harus dijaga erat oleh siapa pun kepala daerah yang terpilih nanti. Karena, buruknya komunikasi kepala daerah akan merugikan masyarakat Jabar," tandas dia.
Seperti diketahui, dalam Pilgub Jabar 2018 diikuti sejumlah kandidat yang sebelumnya menjabat wali kota, bupati dan wakil gubernur. Calon Gubernur Deddy Mizwar (Demiz) misalnya memilih maju kembali sebagai pemimpin Jabar periode 2018-2023. Demiz yang merupakan Wakil Gubernur Jabar nonaktif berpasangan dengan Dedi Mulyadi yang juga Bupati Purwakarta nonaktif dari Partai Golkar.
Sementara Wali Kota Bandung nonaktif, Ridwan Kamil maju di Pilgub Jabar 2018 dengan menggandeng Bupati Tasikmalaya nonaktif Uu Ruzhanul Ulum. Selain itu, Wakil Wali Kota Bekasi nonaktif Ahmad Syaikhu juga maju sebagai Cawagub berpasangan dengan Sudrajat.
Sedangkan Calon Gubernur TB Hasanuddin dan wakilnya Anton Charliyan merupakan satu-satunya pasangan yang berasal dari luar birokrat pemerintahan. Keduanya diusung PDIP.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait