BANDUNG, iNews.id - Permainan tradisional Sunda memiliki nilai positif, mengandung unsur mendidik atau edukatif, dan filosofis. Karakter permainan tradisional Sunda berupa nilai-nilai kebaikan.
Semua permainan tradisional yang dalam istiliah Sunda disebut kaulinan barudak, mengandung nilai kejujuran, kedisiplinan, kepatuhan, keindahan, kebersamaan, toleransi, solidaritas, tenggang rasa, tanggung jawab, kepemimpinan, kesadaran, kearifan, kekuatan fisik, kreativitas, dan sportivitas.
Permainan-permainan tradisional itu sangat bermanfaat bagi pengembangan karakter manusia. Namun sayangnya, anak sekarang sudah tidak memainkan permainan tradisional itu.
Seiring perkembangan zaman, permainan tradisional tergerus oleh permainan modern. Dampaknya, anak-anak semakin terasing dari lingkungan sosialnya.
Mereka lebih individualis dan cenderung berpikir instan. Berdasarkan penelitian, karakter anak saat ini lebih cengeng dan kurang dapat bertenggang rasa.
Dihimpun dari berbagai sumber, berikut delapan dari puluhan permainan tradisional Sunda baik yang masih bertahan maupun telah punah:
1. Oray-orayan
Permainan tradisional Sunda yang paling digemari adalah oray-orayan atau ular-ularan (Bahasa Indonesia). Oray-orayan merupakan permainan tradisional dengan dialog dan nyanyian di antara pemain.
Permainan ini dilakukan oleh 5 sampai 10 anak. Karena itu, untuk memainkannya, oray-orayan membutuhkan area cukup luas. Biasanya di halaman rumah. Saat bermain, anak-anak yang jadi peserta, saling memegang pundak teman di depannya.
Anak yang berada di depan diartikan sebagai kepala ular dan bagian tengah tubuh, dan belakang ekor. Mereka membentuk barisan satu kolom.
Sambil berjalan, mereka menyanyikan nyanyian dengan syair sebagai berikut:
Oray orayan (Ular-ularan)
Luar leor mapay sawah (meliuk-liuk melalui sawah)
Tong ka sawah (jangan ke sawah)
Parena keur sedeng beukah (padinya sedang berisi)
Oray-orayan (ular-ularan)
Luar leor mapay leuwi (meliuk-liuk melalui kubangan air).
Tong ka leuwi (jangan ke kubangan air)
Di leuwi loba nu mandi (di kubangan air banyak yang mandi)
Oray-orayan (ular-ularan)
Oray naon, oray bungka, bungka naon, bungka laut (ular apa? Ular bungka. Bungka apa? Bungka laut).
Laut naon, laut dipa, dipa naon, dipandeuri. (Laut apa? Laut dipa. Dipa apa? di pandeuri (di paling belakang atau ekor)
Setelah syair berakhir, sang kepala berusaha menangkap bagian ekor. Sementara sang ekor mengatur strategi sehingga akan tampak seperti seekor ular yang meliuk-liuk karena antara kepala dengan ekor seakan saling mengejar.
Yang harus menyesuaikan barisan adalah bagian tubuh ular karena tidak boleh putus. Hal ini membuat bagian tubuh seakan meliuk-liuk untuk mengikuti gerakan kepala dan ekor.
Tidak ada istilah pertandingan dan keuletan serta kalah menang dalam permainan ini. Yang ada hanyalah ketangkasan dan lebih didominasi oleh keceriaan serta gelak tawa para pemain.
2. Bebeletokan
Permainan tradisional Sunda yang masih bertahan walaupun tidak seintens zaman dulu adalah bebeletokan. Alat permainan ini berupa pistol mainan dari bambu yang pelurunya dari daun-daunan atau kertas basah.
Bebeletokan juga dikenal anak-anak di daerah lain. Dalam memainkannya diperlukan keakuratan saat mengisi peluru dari daun atau kertas.
Pistol bambu itu memanfaatkan tekanan udara, sehingga tidak boleh ada celah saat mengisi pelauru daun atau kertas basah agar tekanan udara yang dihasilkan cukup maksimal.
Setelah kedua sisi ujung bambu terisi peluru, pemain akan menekannya menggunakan penyodok yang juga terbuat dari bambu. Jika tekanan udara maksimal, peluru yang terlontar akan menimbulkan bunyi, bletok. Karena itu, permainan ini disebut bebelotokan.
Biasanya, bebeletokan dimainkan oleh dua kelompok anak. Mereka membuat skenario permainan seperti saat perang di era revoluasi kemerdekaan. Ada yang berperan sebagai pejuang, kelompok lain menjadi tentang Belanda.
Mereka saling berhadapan dengan jarak sekitar enam meter. Setelah aba-aba permainan dimulai. Mereka saling serang dengan akurasi tembakan pada badan dan kaki kelompok lawan.
Sebenarnya, tidak ada menang dan kalah dalam permainan. Yang lebih dominan adalah keceriaan dan gelak tawa. Setelah bermain bebeletokan, anak-anak dari dua kelompok akan kembali menyatu.
3. Anjang-Anjangan
Permainan tradisional yang juga masih bertahan sampai saat ini adalah anjang-anjangan atau kerap juga disebut anyang-anyangan. Anjang-anjangan adalah permainan yang biasa dimainkan oleh anak perempuan.
Anak perempuan yang memainkan anjang-anjangan ini berperan sebagai seorang ibu yang memasak. Namun masak bohongan. Peralatan yang digunakan pun bisa apa saja.
Tetapi tidak sedikit pula yang membeli peralatan memasak berukuran kecil atau mini. Seperti, aseupan (alat untuk mengukus), nyiru (tampah), hihid (alat untuk mengipasi nasi), boboko (tempat nasi), ayakan (saringan), dan kalakat (kukusan), kuali, wajan kecil, dan kompor mini.
Walaupun dominan dimainkan anak perempuan, biasa anak laki-laki pun ikut dalam permainan ini walaupun bukan memasak. Anak laki-laki biasanya hanya ikut menyantap makanan bohongan yang dimasak oleh anak perempuan.
4. Gatrik
Permainan tradisional Sunda berikutnya adalah gatrik atau dalam bahasa Indonesia dan beberapa daerah lain disebut patil lele, benthi, dan tak kadal.
Permaiann yang memakai alat dari dua potongan kayu atau bambu berukuran sekitar 30 cm dan yang satunya berukuran lebih kecil untuk dipukul ke arah lawan. Gatrik dimaikan oleh dua kelompok yang terdiri atas 2 sampai 4 orang.
Untuk menentukan pemenang, dilihat dari skor baik penangkap maupun pemukul. Permainan dimulai dengan kelompok pemukul memukul batang bambu atau kay kecil dan terlempar.
Kelompok penangkap harus mampu menangkap batang bambu atau kayu yang dipukul. Jika bambu atau kayu yang terlempar tidak bisa ditangkap, sang pemukul mendapat nilai.
Jika si penangkap berhasil menangkap bambu kecil itu maka, mereka harus bertukar tempat. Permainan ini terdiri dari tiga babak permainan.
Untuk menentukan tim yang lebih dulu bermain sebagai pemukul, pemain harus melakukan suit atau melemparkan kayu gatrik pendek ke landasan di atas batu. Siapa yang melemparnya masuk atau paling dekat dengan batu landasan, akan menjadi tim pemukul.
5. Bedil Sorolok
Permainan tradisional Sunda yang sudah ditinggalkan anak-anak zaman sekarang adalah bedil sorolok. Permainan ini menggunakan pelepak daun pisang.
Sebelum dimainkan, pelepah daun pisang dibentuk seperti senapan. Setelah itu bagian teratas diiris dengan ukuran tertentu. Biasanya dibuat tiga hingga empat irisan sejajar.
Selanjutnya, bagian yang telah diiris itu diberdirikan. Pemain kemudian memukul bagian irian yang diberdirikan itu sekaligus sehingga berbunyi seperti senapan mesin.
Bisa juga pemain menghentakkan irisan pelepah daun pisang yang diberdirikan. Karena berbunyi sorolok sehingga nama permainan ini disebut sorolok.
6. Perepet Jengkol
Permainan tradisional Sunda yang juga cukup digemari anak-anak pada masanya adalah perepet jengkol. Permainan ini dimainkan oleh empat anak.
Saat bermain perepet jengkol, biasanya anak laki-laki akan memainkannya dengan anak laki-laki pula. Begitu juga anak perempuan dengan anak perempuan juga. Tapi tidak jarang bercampur baik laki-laki maupun perempuan.
Perepet jengkol dimainkan oleh tiga hingga empat anak dengan kaki para pemain saling mengait atau dianyam saling tindih. Tangan para pemain pun saling berpegangan.
Kemudian, mereka meloncat-loncat berputar ke arah kiri sambil tepuk tangan. Selain itu, para pemain juga menyanyikan lagu, perepet jengkol dan bertepuk tangan.
Keseimbangan anak terlihat pada kemampuan anak bertahan mengangkat sebelah kaki mereka. Permainan ini dibuat beberapa kelompok. Yang dapat bertahan lama, tidak terjatuh, dan tercerai berai adalah pemenangnya.
Berdasarkan penelitian, permainan ini hanya ada di Jawa Barat. Sebab, belum ditemukan permainan serupa di daerah lain.
Syair Perepet jengkol:
Perepet jengkol
Jajahean
Kadempet kohkol
Jejeretean.
7. Hong Hongan
Permainan tradisional Sunda yang nyaris punah adalah Hong hongan. Permainan ini hampir sama dengan permainan ucing sumput atau petak umpet.
Perbedaannya, hong-hongan menggunakan tiang sebagai tempat berdiam diri dan menutu mata sebagai penjaga tiang. Sedangkan ucing sumput tidak memerlukan media tiang.
Cara bermain, anak yang bertugas sebagai penunggu tiang berjaga agar tidak disentuh oleh teman-temannya bersembunyi. Dia juga mencari teman-temannya yang bersembunyi.
Saat menemukan temannya yang bersembunyi, sang penjaga harus cepat-cepat kembali ke tiang sambil berteriak, hong dan menyebutkan nama teman yang ditemukan itu.
Sebaliknya jika yang bersembunyi lebih dulu mencapai tiang dan menyebutkan cambal, anak yang telah di-hong-kan akan berlari untuk bersembunyi kembali.
Sementara, jika semua anak yang bersembunyi dapat di-hong-kan oleh sang penunggu tiang, selanjutnya orang yang pertama ditemukan harus menunggu tiang. Begitu seterusnya hingga anak-anak merasa sudah kecapaian atau bosan.
8. Jajangkungan
Permainan tradisional Sunda yang masih bertahan sampai saat ini adalah jajangkungan. Permainan yang juga memiliki nama egrang ini menggunakan galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam jarak tertentu dari atas tanah.
Jajangkungan melatih motorik dan keseimbangan anak. Permainan ini agak sulit memainkannya. Tetapi jika rajin berlatih, anak bisa mahir menggunakan jajangkungan.
Caranya, kedua kaki menginjak pijakan yang terdapat di masing-masing tongkat. Tangan kanan dan kiri memegangi tongkat itu. Setelah berhasil berdiri, pemain akan berjalan menggunakan tongkat tersebut.
Editor : Agus Warsudi
permainan tradisional permainan anak-anak wahana permainan anak Mainan Anak budaya sunda etnis Sunda
Artikel Terkait