Pesawat N219 Nurtanio hasil karya anak bangsa kolaborasi PT Dirgantara Indonesia dan BRIN. Pesawat multifungsi ini diproduksi massal dan telah dipesan oleh beberapa negara. (FOTO: ISTIMEWA)

BANDUNG, iNews.id - Rabu 16 Agustus 2017 pagi, Kapten Esther Gayatri bersama kru bertaruh nyawa menerbangkan prototipe pesawat dari Bandara Husein Sastranegara mengitari langit Bandung. Pesawat uji coba buatan Indonesia ini untuk pertama kali diterbangkan sebagai bukti kemandirian Indonesia atas industri kedirgantaraan

"Saya tidak bisa katakan seperti apa perasaan saya saat itu, stresnya tingkat dewa," kata pilot penguji PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Kapten Esther Gayatri saat peluncuran buku, A Test Pilot’s Journey: Srikandi Indonesia Bertaruh Nyawa pada awal September 2022 lalu. 

Kapten Gayatri bercerita, detik-detik sebelum penerbangan perdana menggunakan prototipe N219 Nurtanio. Hitung mundur terus berjalan dengan berbagai dinamika yang terjadi setiap hari, mulai dari kendala teknis hingga perbaikan dan penyempurnaan yang terus dilakukan. 

Malam sebelum terbang perdana, Kapten Esther memilih pulang ke kontrakan di salah satu sudut Kota Bandung. Saking stresnya, orang tua Kapten Esther yang saat itu datang pun diminta pulang. Kapten Esther memilih menyendiri. 

"Malam itu, saya pulang ke kontrakan. Saya bicara, Tuhan tolong saya. Saya tidak tahu pesawat ini seperti apa besok," cerita Gayatri. 

Kapten Esther Gayatri saat launching buku, “A Test Pilot’s Journey: Srikandi Indonesia Bertaruh Nyawa” pada awal September 2022 lalu. (Foto: Arif Budianto)

Hingga hari H tiba, Kapten Esther melakukan uji terbang perdana prototipe N219. Kala itu, ribuan mata menyaksikan detik-detik menegangkan penerbangan pesawat baling-baling buatan para peneliti Indonesia itu. 

Jayalah Indonesia. Kapten Esther dan tim berhasil membawa pesawat N219 Nurtanio take off dan landing sempurna tanpa kurang satu apa pun. 

"Kenapa saya tidak menolak? Ya karena tidak ada pilihan lain. Karena ini pekerjaan saya. Memang stres sekali, tetapi tahap demi tahap saya lewati. Saya yakin tim sudah melakukan perhitungan tepat dan Tuhan pasti menolong saya," tuturnya. 

Karya Anak Bangsa
N219 Nurtanio adalah pesawat buatan putra-putri Indonesia, hasil kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang kemudian dilebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

Kehadiran N219 Nurtanio menjadi momentum kebangkitan industri kedirgantaraan Tanah Air setelah puluhan tahun mati suri, pascakrisis moneter 1998.

Pesawat N219 Nurtanio ini menjadi andalan bangsa Indonesia sebagai produk high technology yang berhasil dibuat. N219 juga menjadi bukti penting, riset puluhan tahun bisa diwujudkan menjadi karya nyata yang kelak hasilnya bisa dinikmati seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. 

N219 Nurtanio digagas lebih dari 10 tahun, sebelum terbang perdana pada 2017. Setelah melalui tahapan riset panjang, desain perencanaan, rancang bangun, hingga pembuatan prototipe, N219 berhasil terbang, sejajar dengan pesawat buatan negara maju.

Peneliti BRIN Agus Aribowo mengatakan, keberhasilan N219 Nurtanio adalah kerja keras ratusan insinyur dan periset anak bangsa selama lebih dari 10 tahun. 

Dalam perjalanannya, berbagai permasalahan datang silih berganti, menerpa tekad dan ikhtiar para insinyur serta peneliti N219. Namun, tekad mereka kuat, melanjutkan semangat kemandirian bangsa dari pesawat pendahulunya N250.

“Saya meyakinkan ke stakeholder bahwa pesawat ini lebih sederhana. Ini bukan technology demand tapi demand (permintaan) masyarakat. Masyarakat butuh pesawat untuk mengangkut tapi mudah dalam hal perawatan,” kata Agus Aribowo yang saat itu menjadi Kepala Program Pengembangan Pesawat N219. 

Pesawat N219 Nurtanio karya anak bangsa kolaborasi PT Dirgantara Indonesia dan BRIN. (FOTO: ISTIMEWA)

Agar bisa menembus beragam medan dengan kontur seperti Indonesia, ujar Agus Aribowo, para peneliti meriset double slotted flap dan flaperon. Pengujian dilakukan di fasilitas terowongan angin Nusantara Low Speed Tunnel (NLST) Bandung, pada Januari 2007. 

Dengan CL max 2,9, pesawat juga dapat mendarat dan lepas-landas di landasan relatif pendek, tak sampai 600 meter. Ukuran tersebut adalah rata-rata panjang landasan di wilayah perintis.

“Landasan ada yang miring, jurang, di ujung jurang, jadi kalau gagal take off, pesawatnya jatuhnya ke jurang,” ujar Agus Aribowo.

Bahkan, hasil uji di laboratorium Aero Gas-Dinamika dan Getaran (LAGG) tak hanya memenuhi target, tetapi justru melebihi ekspektasi. Dengan kondisi flaperon aktif (on) dan sudut flap 40 derajat, diperoleh CL sebesar 3,03. Artinya pesawat mampu mendarat di landasan yang lebih pendek (kurang dari 563 meter).

Setelah proses uji terbang perdana selesai, kerja keras para peneliti terus berlanjut. Pada 22 Desember 2020, N219 mendapatkan type certificate (TC) dari otoritas kelaikudaraan sipil, dalam hal ini yang berwenang di wilayah Indonesia adalah Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU), Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Keberhasilan tersebut diraih setelah prototipe N219 Nurtanio berhasil menyelesaikan ratusan jam terbang dengan berbagai kondisi cuaca dan medan di Indonesia.  

Pesawat Multifungsi
Pesawat N219 Nurtanio telah didesain memiliki berbagai ketangguhan yang tak dimiliki pesawat sejenis di kelasnya. Kelebihan ini yang membuat N219 Nurtanio memiliki multi fungsi. 

Dalam pemanfaatannya, pesawat N219 Nurtanio dapat digunakan dengan berbagai konfigurasi sesuai kebutuhan pengguna, baik untuk keperluan angkut penumpang, logistik, maupun medis, militer, hingga flying doctor.

Pesawat N219 Nurtanio dikembangkan secara khusus untuk dapat beroperasi di wilayah pegunungan, dengan kemampuan short take off dan landing di landasan yang panjangnya kurang dari 800 meter dan tidak beraspal. 

Terbaru, PTDI sebagai BUMN yang bertanggung jawab terhadap manufaktur pesawat, menggagas N219 Nurtanio versi amfibi. Pesawat N219 versi pesawat amfibi ini dapat lepas landas di darat maupun permukaan air seperti danau, sungai besar, teluk hingga laut. 

Berbeda dengan versi konvensional, versi amfibi ini menggunakan roda, lengkap dengan bantalan layaknya perahu di sisi kanan dan kiri. Pesawat N219 Amfibi dikembangkan dari pesawat N219 konfigurasi basik yang saat ini sedang memasuki tahap detail desain airframe dan development test landing gear

"Untuk terbang perdana dan perolehan sertifikasi, direncanakan dapat terlaksana pada 2024 mendatang," kata Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan.

Gita Amperiawan menyatakan, dengan inovasi transportasi udara tersebut, diharapkan memudahkan masyarakat atau instansi melakukan perjalanan hingga pelosok daerah.

Seperti layanan perjalan dinas pemerintahan, perusahaan migas, layanan kesehatan masyarakat, SAR dan penanggulangan bencana, hingga pengawasan wilayah maritim. Juga pemanfaatan pada sektor pariwisata untuk transportasi cepat seperti ke Labuan Bajo.

Pengembangan pesawat N219 dan pesawat N219 amfibi ditujukan untuk memenuhi jalur atau rute penerbangan perintis dalam menjangkau pulau-pulau tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan. 

"Harapannya pesawat komersial PTDI ini dapat menunjang transportasi Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi kepulauan serta kemajuan industri kedirgantaraan nasional," ujar Gita Ameperiawan. 

Beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi menggunakan pesawat N219 amfibi di antaranya Pulau Belitung, Derawan, Sebukuh, Rumberpon, Raja Ampat, Teluk Cendrawasih, Danau Sentani, Bunaken, Wakatobi, Pulau Moyo, Bali, Karimun Jawa, Kepulauan Seribu, Teluk Kiluan, Danau Toba.

Pesawat N219 Nurtanio juga akan dikembangkan menjadi pesawat militer. Pesawat buatan anak bangsa ini, nantinya mampu mengemban misi pengintai. Hal itu setelah PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan PT Infoglobal Teknologi Semesta (Infoglobal) menandatangani memorandum of understanding (MoU) tentang kerja sama integrasi mission system Maritime Surveillance Aircraft (MSA) pada 2021 lalu. 
 
Melalui kerja sama ini, pesawat N219 Nurtanio akan dikembangkan dengan desain khusus sebagai pesawat pengawas maritim atau MSA. Mission system dari Infoglobal yang sebelumnya telah terpasang di pesawat NC212 Patroli Maritim (Patmar) TNI AL kemudian akan dikembangkan lebih lanjut untuk digunakan di pesawat N219 MSA yang diproduksi PTDI. 

Diproduksi Massal
Setelah melalui jalan terjal nan panjang, N219 Nurtanio mulai memasuki tahap komersialisasi dengan kesiapan diproduksi massal. Menurut Gita Amperiawan, saat ini, yang menjadi andalan PTDI adalah komersialisasi pesawat buatan dalam negeri N219 Nurtanio. 

"Tahun depan kami berharap N219 sudah mulai diproduksi massal. Tahap pertama diproduksi empat unit, kemudian naik menjadi enam, delapan, hingga 10 unit per tahun," kata Dirut PTDI.

Kementerian Pertahanan (Kemhan) rencananya memesan 10 unit N219 Nurtanio. Kemudian beberapa pemerintah daerah juga akan memesan pesawat tersebut.

Gita menuturkan, beberapa negara tertarik membeli pesawat N219 Nurtanio. Market pesawat ini di dunia diperkirakan lebih dari 300 unit. 

"Afrika Selatan dan Turki tertarik untuk joint production. Beberapa maskapai juga akan memesan produk kami. Kalau semua beli, Insya Allah marketnya semakin luas," tuturnya. 

Pada acara Jakarta International Expo (JIExpo) awal November 2022 lalu, PT Karya Logistik Indotama (PT KLI) telah melakukan penandatanganan kontrak membeli 11 unit pesawat N219 Nurtanio.

Perusahaan ini akan membeli dengan konfigurasi angkut penumpang beserta kelengkapannya, dengan nilai kontrak sekitar USD80,5 juta. PTDI akan mulai menyerahkan unit pertama 2,5 tahun setelah kontrak dan selanjutnya bertahap setiap empat bulan sekali. 

PT KLI merupakan perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan, perdagangan, dan logistik. Perusahaan tersebut akan memanfaatkan pesawat N219 untuk meningkatkan konektivitas penumpang dan logistik di daerah terpencil ke bandara yang lebih besar.

Teknologi Kunci Kedirgantaraan
Seiring telah didapatkannya type certificate N219 Nurtanio, saat ini PTDI bersama BRIN fokus pada pengembangan dan peningkatan kemampuan pesawat tersebut. Upgrading teknologi terus dilakukan untuk penyempurnaan beberapa kemampuan pesawat, termasuk membuat versi amfibi.

Menurut Perekayasa Ahli Madya di Pusat Riset Teknologi Penerbangan BRIN Agus Aribowo, seiring peleburan Lapan menjadi BRIN, saat ini pihaknya lebih fokus menjadi pusat riset pada teknologi kunci kedirgantaraan, termasuk pengembangan pesawat N219 versi amfibi.  

“Kami diminta menjadi pusat riset untuk teknologi kunci dalam rangka mendukung program kedirgantaraan. Kami menyiapkan program, riset, dan fasilitas uji. Sementara PTDI fokus pada komersialisasi N219,” kata Agus Aribowo.

Saat ini, BRIN memiliki banyak pusat riset yang sangat memadai untuk pengembangan teknologi pesawat terbang. Beberapa pusat riset yang bisa digunakan seperti pusat riset material, aerodinamika, penerbangan, transportasi dan lainnya.

Pusat riset tersebut bisa menghasilkan teknologi yang mendukung pada penemuan material komposit untuk pesawat terbang. Material komposit ini nantinya akan menggantikan penggunaan komponen plat yang dinilai lebih berat. 

Riset tersebut juga menghasilkan peningkatan performa, teknologi sayap, hidung pesawat, dan lainnya. “Itu yang saat ini sedang kami lakukan untuk mendukung pengembangan pesawat N219 Nurtanio. Termasuk untuk versi amfibinya. Kami sedang melakukan riset agar N219 bisa landing dan take off di air,” ujarnya.

BRIN, tutur Agus Aribowo, saat ini baru saja menemukan teknologi ekor pesawat untuk N219 dan versi amfibinya yang lebih canggih. BRIN telah melakukan proses riset dan analisis dengan hasil meningkatkan performa N219, kemampuan mendarat, dan terbang di air.

“Dalam satu kali riset, kami bisa mendapatkan dua hingga tiga temuan sekaligus. Temuan ini kemudian kami implementasikan di pesawat N219. Pesawat ini diharapkan menjadi jawaban untuk memenuhi kebutuhan negara-negara maritim,” tutur Agus Aribowo.

Dorong Industri Lokal
Produksi pesawat N219 Nurtanio tak hanya soal kemampuan Indonesia membuat pesawat, tetapi upaya pemerintah membangun ekosistem kedirgantaraan di Tanah Air. Di mana, N219 yang saat ini tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sekitar 46 persen, akan ditingkatkan menjadi 60 persen di kemudian hari.

Upaya ini, bukan pepesan kosong belaka. Saat ini, BRIN bersama PTDI berkomitmen mendorong industri lokal bisa menjadi supplier komponen pesawat terbang, terutama untuk N219 Nurtanio. Jika rencana ini nantinya terlaksana, maka produksi N219 akan memberi multiplier effect bagi ekonomi masyarakat.

“Kami akan membuka diri, agar pabrikan lokal bisa menjadi pemasok N219. Bahkan lebih luas lagi, mereka bisa memasok komponen pesawat terbang ke industri pesawat dunia. Ini yang sedang kami dorong, industri lokal kami bimbing terutama dari faktor kualitas dan kualifikasi produk agar memenuhi persyaratan internasional,” kata Agus Aribowo.

Untuk mendorong tumbuhnya industri lokal memproduksi komponen pesawat, BRIN telah memiliki laboratorium DO160 berlokasi di KST Rumbin Bogor. Laboratorium ini diperuntukkan bagi industri lokal dalam melakukan tes kualifikasi komponen pesawat agar bisa lolos regulasi internasional.

Beberapa komponen yang bisa digarap oleh industri lokal di antaranya komponen avionic, interior, kursi, karpet, dan lainnya. Jika industri lokal telah memiliki kemampuan dan sertifikasi internasional, mereka bisa menggarap pesanan industri pesawat luar negeri.

“Kalau bisa lolos, maka industri lokal ini, nantinya bisa masuk ke industri pesawat terbang skala internasional, memenuhi kebutuhan industri pesawat dunia,” ucapnya.

Saat ini, ujar Agus Aribowo, belum ada industri lokal yang menjadi supplier komponen pesawat untuk kepentingan Indonesia atau luar negeri. Padahal, banyak komunitas industri yang tertarik menggarap ceruk pasar kedirgantaraan ini. 


Editor : Agus Warsudi

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network