BANDUNG, iNews.id - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) prihatin dengan munculnya kasus siswi non-muslim wajib mengenakan jilbab di sekolah dan ajakan ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) harus beragama Islam. KPAI menilai kebijakan dan ajakan itu tak menghargai keberagaman.
Kasus ini mencuat setelah sebuah video viral di media sosial yang memperlihatkan percakapan antara Elianu Hia (orang tua siswi beragama non-muslim) dan pihak SMK Negeri 2 Padang.
Dalam video itu, Elianu mengaku dipanggil pihak sekolah karena anaknya, berinisial JCH, tidak mengenakan jilbab atau kerudung saat bersekolah. JCH merupakan siswi Kelas IX pada Jurusan Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran (OTKP)) di sekolah itu. Dia keberatan mengenakan jilbab karena bukan muslim.
Elianu berusaha menjelaskan anaknya adalah non-muslim, sehingga cukup terganggu oleh keharusan mengenakan jilbab. Pihak sekolah yang menerima kehadiran Elianu menyebut penggunaan jilbab merupakan aturan sekolah.
Sehingga menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah, kalau ada anak yang tidak mematuhi peraturan sekolah. Sebab di awal masuk sekolah, saat diterima di sekolah tersebut, orang tua dan anak sudah sepakat untuk mematuhi peraturan sekolah.
Komisioner KPAI Bidang pendidikan Retno Listyarti mengatakan, KPAI prihatin dengan berbagai kasus di beberapa sekolah negeri terkait intoleransi dan kecenderungan tidak mengahargai keberagaman. Kondisi ini berpotensi kuat melanggar hak-hak anak.
"Seperti kasus mewajibkan semua siswi bahkan yang beragama non islam untuk mengenakan jilbab di sekolah, atau kasus beberapa waktu lalu dimana ada pendidik di SMAN di Depok dan DKI Jakarta yang menyerukan untuk memilih Ketua OSIS yang beragama Islam,” kata Retno Listyartri dalam rilis yang diterima MNC Portal.
Retno mengemukakan, sekolah negeri adalah milik pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk. Karena itu, sekolah negeri harusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Terkait kasus kewajiban mengenakan jilbab, tutur Retno, Ombudsman Sumatera Barat sudah memanggil pihak SMKN 2 Padang untuk meminta klarifikasi. Dari pertemuan antara Ombudsman Sumatera Barat dengan SMKN 2 Padang, sekolah mengaku bahwa memang benar ada kebijakan yang mewajibkan siswi perempuan harus memakai berjilbab walaupun peserta didiknya tidak semua beragama Islam, ada Nasrani dan keyakinan lain.
Kepala sekolah menyampaikan, semua siswi, baik muslim maupun non-muslim di sekolah itu, kecuali siswa yang sedang viral tersebut, selama ini tidak ada yang menolak,
“Tidak ada yang menolak bukan berarti kebijakan atau aturan sekolah tidak melanggar ketentuan perundangan lain yang lebih tinggi. Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan. Apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab melanggar HAM, namun memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM,” tutur Retno.
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, kata Retno, dimaksudkan untuk menciptakan kondisi proses pembelajaran aman, nyaman, dan menyenangkan, serta menghindarkan semua warga sekolah dari unsur-unsur atau tindakan kekerasan.
"Peraturan ini seharusnya digunakan sebagai acuan atau panduan dalam menangani kasus yang terjadi di SMKN 2 Kota Padang, Sumatera Barat tersebut," ucapnya.
Retno menyatakan, Pasal 6 huruf (i) Permendikbud tersebut mengkategorikan tindakan kekerasan termasuk di antaranya adalah, tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasar kanpada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan, pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan.
Terkait permasalahan ini, ujar Retno, KPAI Bidang Pendidik merekomendasikan, pertama, sekolah diduga kuat melanggar UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 39/1999 tentang HAM.
Ketentuan dalam berbagai peraturan perundangan tersebut dapat digunakan karena pihak sekolah telah membuat aturan sekolah bersifat diskriminatif terhadap SARA sehingga mengakibatkan ada peserta didik yang berpotensi mengalami intimidasi karena dipaksa menggunakan jilbab, padahal dirinya beragama non-Islam
Karena itu, KPAI mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat memeriksa Kepala SMKN 2 Kota Padang dan jajarannya dengan Permendikbud Nomor 82/2015 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dan mengacu pada peraturan perundangan apa saja yang dilanggar pihak sekolah.
"Pemberian sanksi walaupun hanya surat peringatan menjadi penting agar ada efek jera. Sanksi harus maksimal sesuai ketentuan dalam PP 53/2010 ttg Disiplin PNS mengingat kepala sekolah dan jajarannya di sekolah negeri umumnya adalah ASN (aparatur sipil negara)," ujar Retno.
Kedua, KPAI mendorong dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia menngingakan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepala sekolah dan guru untuk menjadikan kasus SMKN 2 Padang ini sebagai pembelajaran bersama sehingga tidak terulang lagi.
Ketiga, KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meningkatkan sosialisasi Permendikbud Nomor 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Di Satuan Pendidikan, secara massif kepada dinas pendidikan provisi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Keempat, KPAI mendorong edukasi dan pelatihan kepada para guru dan kepala sekolah untuk memiliki perspektif HAM, terutama pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak peserta didik.
Karena, ketika sekolah memiliki kebijakan memperkuat nilai-nilai kebangsaan, persatuan, menghargai perbedaan, maka peserta didik akan mengimplemntasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima, KPAI mengapresiasi para orangtua peserta didik untuk berani bersuara dan mendidik anak-anaknya ketika mengalami kekekerasan di sekolah, baik kekerasan fisik, seksual maupun nonfisik. Salah satu cara menghentikan kekerasan adalah dengan bersuara.
Editor : Agus Warsudi
Artikel Terkait